bblueplanet

Jasmine menunggu Azzam di balik pintu, setelah lelaki itu masuk, Jasmine mencium tangannya lalu Azzam terburu-buru ke kamar mandi karena baju nya penuh noda minyak.

Sambil menunggu, Jasmine beranjak ke kamar, merapikan lemari gantung kemudian bercermin memperhatikan dirinya sendiri, ia sedikit merias wajahnya. Ini kali pertama Jasmine menggunakan lipstik karena sebelumnya ia terkenal perempuan tomboy.

Saat masih sibuk bercermin, Azzam masuk ke dalam kamar dalam kondisi telanjang dada. Rambutnya basah dan tersibak ke atas. Padahal Jasmine melihat Azzam sebatas dari pantulan kaca, tetapi jantungnya sudah berdegup tidak karuan.

“Kak... pake baju...” cicit Jasmine tanpa menoleh sedikitpun.

“Iya, nanti, saya gerah.”

Ia kembali berpura-pura merapikan rambutnya yang padahal sudah rapih itu. Jujur Jasmine terkejut melihat badan suaminya yang ternyata bagus dan terawat. Sudah jelas alasannya karena Azzam menyukai olahraga, seperti berenang, memanah dan berkuda. Tak jarang lelaki itu juga pergi ke gym untuk menjaga bentuk tubuhnya.

“Jasmine,”

“I-iya?”

“Udah belum ngaca nya?”

“Kenapa emang?”

“Saya mau nagih janji kamu.”

Jasmine menutup mata rapat-rapat sembari menggigit bibir bawahnya. Ia memang berniat memeluk Azzam saat lelaki itu tiba dirumah. Namun kalau begini penampilannya, Jasmine ingin mengurungkan niat saja.

“Jasmine? Kamu udah cantik, jangan ngaca terus.”

Gadis itu berbalik badan menghadap Azzam yang masih berdiri di belakang pintu. Lelaki itu balik menatapnya. Suhu tubuh Jasmine semakin menurun saat tiba-tiba Azzam merentangkan tangannya.

“Jadi, kan?”

Jasmine mengangguk malu, lalu berjalan perlahan mendekat.

Greb.

Tangan Azzam langsung menangkap tubuh Jasmine seutuhnya. Meskipun sedikit canggung, tetapi pelukan ini terasa nyaman, menenangkan dan tidak ada rasa was-was diantara mereka, karena jika sudah halal, apa yang harus ditakutkan?

Mereka sama-sama terdiam, namun detak jantung mereka seakan saling bersahutan. Azzam semakin mengeratkan pelukannya, dan tangannya kian naik untuk mengelus punggung Jasmine, menyalurkan kenyamanan dan rasa hangat untuknya.

“Kayak gini terus, ya, Kak?”

“Iya.” Azzam memejamkan kedua matanya lalu mencium helaian rambut gadis yang kini berada di pelukannya, “tapi saya pegel.”

Kemudian Jasmine mengendurkan tangannya untuk melihat wajah Azzam. Seperti ada sesuatu yang ingin ia ucapkan namun saat melihat wajah pria itu pikirannya seketika buyar.

“Kenapa?” Azzam dengan suara rendahnya terdengar jelas karena kondisi ruangan yang senyap.

Jasmine hanya menggeleng pelan. Hendak kembali menenggelamkan kepalanya di dada Azzam tetapi lelaki itu menunduk mendekat ke wajahnya. Sangat dekat, hingga deru nafas Azzam terasa hangat di kedua pipi Jasmine.

“K-kak? Kita ng-nggak ngaji?”

“Kayaknya libur dulu. Saya capek, kalo pelukannya sambil tiduran aja gak apa-apa, 'kan?”

Pertanyaan Azzam sukses membuat sekujur tubuh Jasmine bergetar. Tapi ia tak dapat bergeming karena Azzam memeluknya erat.

Tak menunggu gadis itu menjawab, Azzam pun membawa tubuh Jasmine untuk mendekat ke arah ranjang. Ia melepas sebelah tangannya untuk mematikan sakelar lampu dan hal itu semakin membuat detak jantung Jasmine seolah ingin berhenti.

“Kak...”

“Boleh, ya?”


© Jupiter Lee

Sejak datang Deka tak banyak bicara seperti pada biasanya, ia terlihat kaku karena di depannya terdapat Farhan yang terus-menerus memperhatikan dirinya.

“Om, maaf, Jasmine nya ada?”

“Di kamarnya, nanti juga turun.”

Deka menghembuskan nafas diam-diam, namun kecepatan degup jantungnya perlahan mengendur saat melihat sosok Jasmine muncul dari tangga. Gadis itu tersenyum lebar seperti tidak akan terjadi apa-apa.

Farhan menoleh, “Bunda mana?”

“Lagi ke kamar mandi dulu, Yah,”

Deka menggerutu di dalam hati, pasalnya ia tidak mengerti situasi ini, yang ia tahu, ia hanya di minta untuk datang tanpa tahu tujuannya.

Farhan berdeham dengan menyamankan posisi duduknya. Sedangkan Deka duduk tepat di depannya.

“Begini Deka,”

Deka memajukan sedikit wajahnya dengan pikiran yang penuh akan tanda tanya.

“Kamu udah berapa lama sama anak saya?”

“Hari ini 4 tahun, Om.”

Hari ini, katanya. Benar, hari ini adalah tanggal Jasmine dan Deka berpacaran. Gadis itu langsung membuang pandangannya, ia merasa bersalah karena telah melupakan hari jadian mereka.

“Saya tau, kamu udah lama banget sama anak saya, saya juga tau kalian mungkin masih saling sayang. Tapi, saya nggak pernah ngeliat keseriusan kamu dengan anak gadis saya,”

“Saya serius, Om, saya juga nggak pernah main belakang selama pacaran,” Deka berusaha mengelak.

“Ya, saya tau. Keseriusan yang saya maksud itu keseriusan kamu untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius, Deka.”

Lelaki itu terdiam sampai Farhan melanjutkan kalimatnya.

“Jasmine mau saya jodohkan, dan dia sendiri sudah menyetujui perjodohan ini.”

Runtuh. Hati Deka seakan di sambar dengan petir. Penyataan Farhan barusan benar-benar mengejutkan dan sangat mendadak. Ia menunduk dengan kedua tangan saling mengepal dan bergetar. Sekujur tubuhnya lemas bukan main.

Ia memberanikan diri menatap Jasmine, meskipun hatinya sudah terkoyak, “lo mau dijodohin, Mine?”

“Iya.” Jasmine menjawab namun tidak menatap Deka.

“Om, kalo boleh saya tau, Jasmine mau dijodohin sama siapa, ya?”

Tepat setelah Deka menanyakan itu, di depan pintu yang sedang terbuka lebar menampakkan sosok Azzam sedang memberi salam agar diizinkan masuk.

“Masuk aja, Nak.” Seru Farhan.

Azzam benar-benar baru pulang dari Masjid, masih menggunakan baju koko dengan sarung yang di lipat di pundaknya. Rambut Azzam tersibak ke belakang hingga dahi lelaki itu terekspos jelas dan surai hitamnya juga masih basah yang sepertinya itu bekas dari air wudhu.

Deka memperhatikan Azzam dari laki-laki itu berdiri di depan pintu sampai terduduk. Jujur saja Deka sendiri kagum melihat Azzam yang begitu berwibawa namun teduh di pandang.

“Deka, ini Azzam, ini lelaki yang mau dijodohkan sama Jasmine.” Ucap Farhan sembari menepuk-nepuk punggung Azzam di sebelahnya.

Azzam tersenyum dan sedikit menundukkan kepalanya.

Deka ingin menangis. Ia tak sanggup berkata-kata, tak sanggup untuk berkomentar dan tidak dapat lagi menolak keputusan ini. Ia dapat melihat jelas perbedaannya yang sangat kontras dengan Azzam. Lelaki itu mengenakan baju koko dan aura kharismatik nya menguar, sedangkan Deka, ia menggunakan hoodie dan celana jeans sobek di lututnya. Berbeda 180 derajat.

“Jadi ini calonnya Jasmine?”

Azzam mengangguk.

“Kalo gitu, Om, saya rela kok.” Deka dengan suara bergetarnya itu berusaha kuat.

“Saya rasa ini yang terbaik buat anak gadis saya, semoga kamu bisa mengerti kondisi ini, ya, Deka. Semoga kamu juga bisa mendapatkan wanita yang jauh lebih baik lagi nantinya,” Farhan seakan sedang menenangkan, meskipun tak ada artinya bagi Deka.

“Iya, Om, saya ngerti. Saya juga gak ada apa-apanya kalo di banding sama Azzam. Saya yakin Azzam pasti pilihan terbaik. Kalo begitu, saya terima ini semua, saya ikhlas.”

“Saya minta maaf, Deka, saya nggak bermaksud untuk menyakiti kamu,”

“Lo gak usah minta maaf. Nggak ada yang salah disini, ini takdir, kan? Berarti Jasmine bukan milik gue. Gue cuma jagain jodoh lo aja.” Deka tersenyum. Dan senyum itu sangat menyakitkan untuk dilihat.

“Jagain Jasmine, ya, semoga lo berdua bahagia terus dan lancar sampe ke pelaminan,”

Semua nya terdiam, dan Deka pun akhirnya memilih untuk pamit pulang karena berada di tengah-tengah ini sangat menyayat hatinya.

“Om, saya pulang, ya. Azzam, Jasmine, gue pulang,”

“Terimakasih sudah mengerti, ya, kamu pasti akan mendapatkan yang lebih baik.”

“Iya, Om.”

Usai berpamitan, Deka langsung berjalan keluar, menaiki motor sportnya. Ia memperhatikan wajah Jasmine yang terlihat dari jauh. Deka masih sangat mencintainya hingga terasa sesak.

“Semesta gue... Direbut.” Gumam Deka di dalam hati dan langsung memutar gas motornya dengan kecepatan penuh.

“Selamat empat tahun, Jasmine, I love you. Forever.”

setel lagu rekomendasinya biar narasinya nge-feel banget.

Jasmine menyibak selimut yang menutupi tubuhnya dan bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Air pada malam itu sangat dingin hingga membuat rasa kantuk Jasmine seketika sirna.

Ia membuka nakas, mencari sepasang mukena miliknya, mukena itu masih terlipat rapi karena tak pernah ia gunakan, selama ini ia selalu memakai mukena milik sang Bunda dengan alasan tak mau mukena miliknya kotor.

Jasmine berdiri di depan cermin, melihat dirinya sendiri yang begitu cantik dengan mukena putih yang membalut sekujur tubuhnya.

Lalu jauh di seberang sana, di kediaman Azzam, lelaki itu sudah berdiri tegak menghadap ke arah kiblat, mengangkat kedua tangannya lalu mengucapkan takbir.

Azzam terlarut di dalam kekhusyukan shalatnya, hingga ia tak menyadari begitu ia bersujud, air matanya jatuh membasahi kedua pipi nya.

Rukun demi rukun telah Azzam lakukan, sampai pada salam terakhirnya lelaki itu berdzikir sejenak lalu mengangkat kedua tangannya.

“Ya Allah, jika memang ia pilihan terbaik maka dekatkanlah, tetapi jika ia bukan pilihan dari-Mu maka berikanlah hamba kekuatan untuk melupakan. Hamba mencintai salah satu makhluk-Mu ya Allah, hamba mencintainya karena-Mu dan hamba mencintainya tidak melebihi dari cinta hamba pada-Mu. Dekatkanlah jiwa dan raga kami, hingga kami dapat mengikrarkan janji suci di hadapan-Mu... nanti...”

Begitu do'a yang saat ini Azzam langitkan pada Tuhan-nya dengan air mata yang terus mengalir sampai menetes dari dagunya. Seakan ini adalah saksi cinta Azzam, bahwa sungguh ia mencintai Jasmine karena Allah.


Tak berbeda dengan Jasmine, usai menyelesaikan rukun shalat yang terakhir ia langsung mengangkat kedua tangannya.

“Ya Allah, sejujurnya hamba malu, hamba memiliki ribuan keinginan yang ingin dikabulkan, namun sujud hamba pada-Mu tak sepadan dengan banyaknya keinginan hamba ya Allah...” Jasmine terisak dalam keheningan, ia menumpahkan air matanya dan merendah di hadapan sang Ilahi.

“Jika Azzam adalah lelaki yang Engkau pilih untuk menjadi lelaki penuntun dan pendamping hidup hamba, maka bantu hamba untuk melupakan Deka ya Allah. Akan tetapi jika Azzam bukan pilihan-Mu maka pertemukan lah hamba dengan pasangan yang baik, dan juga pertemukan lah Azzam dengan wanita yang baik... Hamba memohon pertolongan-Mu agar hamba dapat memilih lelaki yang tepat, lelaki yang dapat menuntun hamba untuk lebih dekat dengan-Mu...”

Pada malam yang hening dan syahdu itu terdapat dua pasang insan yang sedang bersujud memohon, dua insan lemah yang terisak dalam sujud mereka masing-masing. Bisikan-bisikan do'a mengalir dalam butiran-butiran tasbih yang terus menggema di penjuru langit.

Betapa lega nya perasaan Jasmine usai berbincang dengan Rabb yang menciptakan alam semesta dengan segala isinya, seakan segala keraguan dan kegundahannya musnah, pikirannya pun menjadi lebih tenang. Hingga setelah shalat itu Jasmine sudah mengantongi jawaban yang akan ia berikan pada Azzam pagi nanti.


Jupiter Lee © 2021

setel lagu rekomendasinya biar narasinya nge-feel banget.

Jasmine menyibak selimut yang menutupi tubuhnya dan bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Air pada malam itu sangat dingin hingga membuat rasa kantuk Jasmine seketika sirna.

Ia membuka nakas, mencari sepasang mukena miliknya, mukena itu masih terlipat rapi karena tak pernah ia gunakan, selama ini ia selalu memakai mukena milik sang Bunda dengan alasan tak mau mukena miliknya kotor.

Jasmine berdiri di depan cermin, melihat dirinya sendiri yang begitu cantik dengan mukena putih yang membalut sekujur tubuhnya.

Lalu jauh di seberang sana, di kediaman Azzam, lelaki itu sudah berdiri tegak menghadap ke arah kiblat, mengangkat kedua tangannya lalu mengucapkan takbir.

Azzam terlarut di dalam kekhusyukan shalatnya, hingga ia tak menyadari begitu ia bersujud, air matanya jatuh membasahi kedua pipi nya.

Rukun demi rukun telah Azzam lakukan, sampai pada salam terakhirnya lelaki itu berdzikir sejenak lalu mengangkat kedua tangannya.

*“Ya Allah, jika memang ia pilihan terbaik maka dekatkanlah, tetapi jika ia bukan pilihan dari-Mu maka berikanlah hamba kekuatan untuk melupakan. Hamba mencintai salah satu makhluk-Mu ya Allah, hamba mencintainya karena-Mu dan hamba mencintainya tidak melebihi dari cinta hamba pada-Mu. Dekatkanlah jiwa dan raga kami, hingga kami dapat mengikrarkan janji suci di hadapan-Mu... nanti...”

Begitu do'a yang saat ini Azzam langitkan pada Tuhan-nya dengan air mata yang terus mengalir sampai menetes dari dagunya. Seakan ini adalah saksi cinta Azzam, bahwa sungguh ia mencintai Jasmine karena Allah.


Tak berbeda dengan Jasmine, usai menyelesaikan rukun shalat yang terakhir ia langsung mengangkat kedua tangannya.

“Ya Allah, sejujurnya hamba malu, hamba memiliki ribuan keinginan yang ingin dikabulkan, namun sujud hamba pada-Mu tak sepadan dengan banyaknya keinginan hamba ya Allah...” Jasmine terisak dalam keheningan, ia menumpahkan air matanya dan merendah di hadapan sang Ilahi.

*“Jika Azzam adalah lelaki yang Engkau pilih untuk menjadi lelaki penuntun dan pendamping hidup hamba, maka bantu hamba untuk melupakan Deka ya Allah. Akan tetapi jika Azzam bukan pilihan-Mu maka pertemukan lah hamba dengan pasangan yang baik, dan juga pertemukan lah Azzam dengan wanita yang baik... Hamba memohon pertolongan-Mu agar hamba dapat memilih lelaki yang tepat, lelaki yang dapat menuntun hamba untuk lebih dekat dengan-Mu...”

Pada malam yang hening dan syahdu itu terdapat dua pasang insan yang sedang bersujud memohon, dua insan lemah yang terisak dalam sujud mereka masing-masing. Bisikan-bisikan do'a mengalir dalam butiran-butiran tasbih yang terus menggema di penjuru langit.

Betapa lega nya perasaan Jasmine usai berbincang dengan Rabb yang menciptakan alam semesta dengan segala isinya, seakan segala keraguan dan kegundahannya musnah, pikirannya pun menjadi lebih tenang. Hingga setelah shalat itu Jasmine sudah mengantongi jawaban yang akan ia berikan pada Azzam pagi nanti.


Jupiter Lee © 2021

setel lagi rekomendasinya biar bacanya makin ashhsdkkshsks

Jasmine memijat kuat pelipisnya karena memang sejak turun dari mobil tadi kepalanya terasa sakit. Tak lama setelah itu, sebuah suara familiar terdengar memberikan salam dari luar pintu, membuat Jasmine menggerutu.

Kemudian tanpa mengenakan jilbabnya terlebih dahulu, Jasmine langsung membuka pintu itu lebar-lebar, menampakkan sosok Azzam yang menatapnya terkejut dan langsung membalikkan tubuhnya membelakangi Jasmine.

“Pake dulu jilbabnya,” titah Azzam masih memunggungi Jasmine.

“Ck, udah lah biar aja.”

“Yaudah, aku pamit pulang, ya,”

“Katanya mau ngobrol?” kedua alis Jasmine menukik tajam.

“Mana bisa saya ngobrol kalo kamu nggak pake jilbab gitu, Jasmine?”

Gadis itu mendelik, ia menghentakkan kakinya masuk ke dalam lagi. Dengan malas dan terpaksa, ia memakai jilbab asal-asalan, tak peduli Azzam melihat dirinya jelek atau berantakan.

“Dah.”

“Bener?”

“Iyaaaa.”

Azzam membalikkan badannya pelan-pelan, melirik Jasmine sekilas lalu membuang pandangannya lagi.

“Mau ngobrol disini atau di ruang tamu?” tanya Jasmine dengan nada yang cukup tinggi.

Azzam meletakkan makanan yang ia bawa ke atas meja yang terpampang di teras rumah, dan mengambil kantong yang berisi obat-obatan.

“Kalo kamu masih pusing, saya nggak akan ajak ngobrol sekarang kok, kamu istirahat aja. Ini obatnya saya beli kebanyakan, ada obat pusing, obat mual, sama ada vitamin. Seblak nya saya beli juga, cuma nggak terlalu pedes, terus—”

“Jangan kayak gini,” Jasmine menyela dengan cepat.

“Kayak gimana?”

“Lo nyusahin gue, Zam, nyusahin.”

“Umi Abi saya minggu depan mau bicarain perjodohan ini lagi, mereka mau tau kejelasan kamu, karena kamu ini masih kelabu buat saya, Jasmine.”

Jasmine menunduk, memainkan kedua kakinya, “nggak tau.”

Azzam menghela nafas lalu menghembuskan nya ke udara. Lelaki itu melipat kedua bibirnya ke dalam dan menatap rembulan yang bersinar terang di langit malam bertabur bintang itu.

“Saya minta maaf,”

“Maaf buat?”

“Saya minta maaf karena saya bikin kamu ada di situasi sulit ini, saya tau ini pasti berat buat kamu, apalagi saya termasuk orang asing yang tiba-tiba di jodohkan sama kamu,” pandangan Azzam beralih pada Jasmine yang masih setia menunduk.

Gadis yang mengenakan jilbab biru tua itu mengangkat kepalanya perlahan, mendaratkan tatapannya pada kedua manik hitam legam pria di depannya.

“Gue nggak ngerti sama perasaan gue sendiri, gue nggak mau di jodohin sama elo, tapi di lain sisi gue juga nggak bisa nolak dan gue gak ngerti alasan gue gak bisa nolak itu karena Ayah gue, atau karena...” Jasmine menggantung kalimatnya yang membuat dahi Azzam berkerut penasaran.

“Karena?”

“Karena gue mulai suka sama elo? Ah, gue nggak tau pokoknya kita jalanin aja,” jawab Jasmine frustasi.

“Apa yang nanti kita jelasin kalo minggu depan orang tua kita tanya tentang ini? Mereka mau tau, kamu bersikeras nolak saya, atau kamu bersedia menerima saya,”

Pertanyaan Azzam yang terlontar barusan benar-benar membuat kepalanya semakin pening, ia tidak tahu ingin menjawab bagaimana lagi.

“Yaudah, kamu masih punya waktu seminggu buat pikirin ini, saya nggak maksa kamu buat jawab sekarang. Kamu istirahat, ya? Obatnya di minum. Saya minta maaf udah ganggu waktu istirahat kamu,”

“Iya.”

“Saya harap kamu mau menerima perjodohan ini, karena saya udah melangkah terlalu jauh. Saya punya rasa sama kamu, saya punya cinta dan itu bukan cinta biasa, terlebih lagi kalau kamu yang memiliki cinta saya, Jasmine.”

Hening. Tidak ada jawaban apapun dari gadis itu.

“Kamu jangan anggep saya manusia sempurna, kamu jangan merasa kalo kamu nggak pantes buat saya. Karena saya juga manusia, saya punya kekurangan, dan saya harap kita bisa saling melengkapi, kalau kamu bisa menerima saya nanti.”

Lagi-lagi Jasmine hanya terdiam membisu. Hingga Azzam akhirnya memilih untuk pamit berpulang.

“Saya pulang, ya, salam sama Ayah Bunda kamu. Assalamu'alaikum.”

“Waalaikumusalam.”

Setelah Azzam lenyap dari pandangannya, Jasmine langsung masuk ke dalam dan membanting pintu dengan keras. Kepalanya ia sandarkan di belakang pintu, perlahan merosot hingga dirinya jatuh terduduk di bawah.

“Perempuan mana yang nggak akan jatuh hati kalo perlakuan lo kayak gini, Azzam?”

setel lagi rekomendasinya biar bacanya makin ashhsdkkshsks

Jasmine memijat kuat pelipisnya karena memang sejak turun dari mobil tadi kepalanya terasa sakit. Tak lama setelah itu, sebuah suara familiar terdengar memberikan salam dari luar pintu, membuat Jasmine menggerutu.

Kemudian tanpa mengenakan jilbabnya terlebih dahulu, Jasmine langsung membuka pintu itu lebar-lebar, menampakkan sosok Azzam yang menatapnya terkejut dan langsung membalikkan tubuhnya membelakangi Jasmine.

“Pake dulu jilbabnya,” titah Azzam masih memunggungi Jasmine.

“Ck, udah lah biar aja.”

“Yaudah, aku pamit pulang, ya,”

“Katanya mau ngobrol?” kedua alis Jasmine menukik tajam.

“Mana bisa saya ngobrol kalo kamu nggak pake jilbab gitu, Jasmine?”

Gadis itu mendelik, ia menghentakkan kakinya masuk ke dalam lagi. Dengan malas dan terpaksa, ia memakai jilbab asal-asalan, tak peduli Azzam melihat dirinya jelek atau berantakan.

“Dah.”

“Bener?”

“Iyaaaa.”

Azzam membalikkan badannya pelan-pelan, melirik Jasmine sekilas lalu membuang pandangannya lagi.

“Mau ngobrol disini atau di ruang tamu?” tanya Jasmine dengan nada yang cukup tinggi.

Azzam meletakkan makanan yang ia bawa ke atas meja yang terpampang di teras rumah, dan mengambil kantong yang berisi obat-obatan.

“Kalo kamu masih pusing, saya nggak akan ajak ngobrol sekarang kok, kamu istirahat aja. Ini obatnya saya beli kebanyakan, ada obat pusing, obat mual, sama ada vitamin. Seblak nya saya beli juga, cuma nggak terlalu pedes, terus—”

“Jangan kayak gini,” Jasmine menyela dengan cepat.

“Kayak gimana?”

“Lo nyusahin gue, Zam, nyusahin.”

“Umi Abi saya minggu depan mau bicarain perjodohan ini lagi, mereka mau tau kejelasan kamu, karena kamu ini masih kelabu buat saya, Jasmine.”

Jasmine menunduk, memainkan kedua kakinya, “nggak tau.”

Azzam menghela nafas lalu menghembuskan nya ke udara. Lelaki itu melipat kedua bibirnya ke dalam dan menatap rembulan yang bersinar terang di langit malam bertabur bintang itu.

“Saya minta maaf,”

“Maaf buat?”

“Saya minta maaf karena saya bikin kamu ada di situasi sulit ini, saya tau ini pasti berat buat kamu, apalagi saya termasuk orang asing yang tiba-tiba di jodohkan sama kamu,” pandangan Azzam beralih pada Jasmine yang masih setia menunduk.

Gadis yang mengenakan jilbab biru tua itu mengangkat kepalanya perlahan, mendaratkan tatapannya pada kedua manik hitam legam pria di depannya.

“Gue nggak ngerti sama perasaan gue sendiri, gue nggak mau di jodohin sama elo, tapi di lain sisi gue juga nggak bisa nolak dan gue gak ngerti alasan gue gak bisa nolak itu karena Ayah gue, atau karena...” Jasmine menggantung kalimatnya yang membuat dahi Azzam berkerut penasaran.

“Karena?”

“Karena gue mulai suka sama elo? Ah, gue nggak tau pokoknya kita jalanin aja,” jawab Jasmine frustasi.

“Apa yang nanti kita jelasin kalo minggu depan orang tua kita tanya tentang ini? Mereka mau tau, kamu bersikeras nolak saya, atau kamu bersedia menerima saya,”

Pertanyaan Azzam yang terlontar barusan benar-benar membuat kepalanya semakin pening, ia tidak tahu ingin menjawab bagaimana lagi.

“Yaudah, kamu masih punya waktu seminggu buat pikirin ini, saya nggak maksa kamu buat jawab sekarang. Kamu istirahat, ya? Obatnya di minum. Saya minta maaf udah ganggu waktu istirahat kamu,”

“Iya.”

“Saya harap kamu mau menerima perjodohan ini, karena saya udah melangkah terlalu jauh. Saya punya rasa sama kamu, saya punya cinta dan itu bukan cinta biasa, terlebih lagi kalau kamu yang memiliki cinta saya, Jasmine.”

Hening. Tidak ada jawaban apapun dari gadis itu.

“Kamu jangan anggep saya manusia sempurna, kamu jangan merasa kalo kamu nggak pantes buat saya. Karena saya juga manusia, saya punya kekurangan, dan saya harap kita bisa saling melengkapi, kalau kamu bisa menerima saya nanti.”

Lagi-lagi Jasmine hanya terdiam membisu. Hingga Azzam akhirnya memilih untuk pamit berpulang.

“Saya pulang, ya, salam sama Ayah Bunda kamu. Assalamu'alaikum.”

“Waalaikumusalam.”

Setelah Azzam lenyap dari pandangannya, Jasmine langsung masuk ke dalam dan membanting pintu dengan keras. Kepalanya ia sandarkan di belakang pintu, perlahan merosot hingga dirinya jatuh terduduk di bawah.

“Perempuan mana yang nggak akan jatuh hati kalo perlakuan lo kayak gini, Azzam?”

Udah setel lagu rekomendasinya belum? Ayo setel biar ada feelnya!

Anna 7 tahun...

Malam itu aku sedang melukis, entah apa yang ku lukis pada saat itu, yang jelas lukisanku sangat buruk. Kemudian Papa datang dengan senyumnya sembari bertepuk tangan.

“Wah, Anna lagi gambar apa?” Papa mendekatkan wajahnya dengan lukisanku, “bagus banget!” puji Papa lalu mencium pucuk kepala ku.

“Tapi kata temen aku ini jelek,”

“Mana sini siapa yang bilang? Biar Papa marahin.” Aku tertawa sewaktu melihat Papa ku bergaya tolak pinggang.

Lalu tiba-tiba Papa merapikan alat-alat melukis milikku, ia menyuruhku untuk tertidur karena sudah pukul 9 malam.

Aku merengek, meminta Papa agar menemaniku hingga aku pulas. Papa tidak pernah menolak apapun yang aku minta, ia mengangguk lalu membawaku ke atas punggungnya dengan gaya pesawat terbang.

Setelah itu Papa menaruhku di kasur dan merapikan selimut untukku. Ia pun ikut tertidur di sebelahku. Saat itu aku tidak bisa tertidur, Papa membuka matanya dan mengelus kepalaku sampai aku pulas, padahal aku tahu saat itu Papa sudah mengantuk tetapi jemari Papa tak berhenti bergerak untuk mengelus surai pendekku.

Hingga akhirnya aku berpura-pura tertidur, dan ku lihat Papa ku langsung tertidur juga. Aku mendudukkan tubuhku pelan-pelan agar Papa tidak terbangun. Ku pegang dahi Papa yang saat itu terasa panas.

Aku hendak membangunkannya, tapi Papa tidur terlalu pulas, dapat aku rasakan di wajahnya tersirat rasa lelah. Aku menunduk untuk mencium kening Papa ku.

“Anna sayang Papa.”

Lalu esok harinya saat aku terbangun, aku tidak melihat Papa di sebelahku. Setelah kucari, ternyata Papa sedang membuat sarapan. Dapur begitu berantakan, karena Papa tidak pandai memasak dan pagi itu Papa terlihat terburu-buru.

Aku menghampiri Papa dan memeluk kedua kakinya, Papa menoleh lalu menyunggingkan senyumnya.

“Sana mandi, abis itu sekolah,”

“Nggak mau sekolah, mau main aja sama Papa.”

“Sekolah dulu, ya, nanti pulang sekolah kita main.”

Padahal itu hanya alibi ku agar aku bisa menemani Papa. Mengingat semalam Papa demam. Tetapi pagi ini Papa bertindak seolah baik-baik saja.

Seperti memang sudah menjadi kebiasaan Papa menyembunyikan kelemahannya di depanku, bahkan hingga aku beranjak dewasa.

Saat aku memasuki sekolah menengah pertama Papa masih sama seperti aku saat di sekolah dasar dahulu.

Lalu saat SMA Papa sudah tidak lagi tidur bersamaku, hanya menemani sampai aku pulas lalu Papa tertidur di kamarnya.

Dan saat SMA aku mulai terbiasa menyembunyikan masalah yang ku hadapi, aku hanya tak ingin menambah beban pikiran Papa karena aku tahu Papa tidak sekuat yang terlihat.

Papa selalu menangis disaat aku tertidur, aku selalu mendengar ia mengatakan bahwa dirinya lelah. Aku mulai merasakan sakitnya Papa harus mengurusku sendirian. Aku dapat merasakan betapa Papa ingin terlihat sempurna dan terlihat baik-baik saja di depanku.

Sekarang, aku akan menikah, dan aku tidak lagi tinggal bersama Papa nantinya. Aku tidak tega karena aku selalu melihat Papa diam-diam menyeka air matanya.

Dahulu kulihat Papa ku tak bisa memasak, kini justru Papa yang mengajariku memasak.

Aku benar-benar tumbuh dengan baik di dalam pelukan Papa ku.

“Papa bakal terus ada di samping Anna sampe hari tua nanti.”

Begitu ucapnya yang membuat hati ku luluh lantak. Papa terlalu sempurna untuk di deskripsikan.


© Jupiter Lee

Udah setel lagu rekomendasinya belum? Ayo setel biar ada feelnya!

Anna 7 tahun...

Malam itu aku sedang melukis, entah apa yang ku lukis pada saat itu, yang jelas lukisanku sangat buruk. Kemudian Papa datang dengan senyumnya sembari bertepuk tangan.

“Wah, Anna lagi gambar apa?” Papa mendekatkan wajahnya dengan lukisanku, “bagus banget!” puji Papa lalu mencium pucuk kepala ku.

“Tapi kata temen aku ini jelek,”

“Mana sini siapa yang bilang? Biar Papa marahin.” Aku tertawa sewaktu melihat Papa ku bergaya tolak pinggang.

Lalu tiba-tiba Papa merapikan alat-alat melukis milikku, ia menyuruhku untuk tertidur karena sudah pukul 9 malam.

Aku merengek, meminta Papa agar menemaniku hingga aku pulas. Papa tidak pernah menolak apapun yang aku minta, ia mengangguk lalu membawaku ke atas punggungnya dengan gaya pesawat terbang.

Setelah itu Papa menaruhku di kasur dan merapikan selimut untukku. Ia pun ikut tertidur di sebelahku. Saat itu aku tidak bisa tertidur, Papa membuka matanya dan mengelus kepalaku sampai aku pulas, padahal aku tahu saat itu Papa sudah mengantuk tetapi jemari Papa tak berhenti bergerak untuk mengelus surai pendekku.

Hingga akhirnya aku berpura-pura tertidur, dan ku lihat Papa ku langsung tertidur juga. Aku mendudukkan tubuhku pelan-pelan agar Papa tidak terbangun. Ku pegang dahi Papa yang saat itu terasa panas.

Aku hendak membangunkannya, tapi Papa tidur terlalu pulas, dapat aku rasakan di wajahnya tersirat rasa lelah. Aku menunduk untuk mencium kening Papa ku.

“Anna sayang Papa.”

Lalu esok harinya saat aku terbangun, aku tidak melihat Papa di sebelahku. Setelah kucari, ternyata Papa sedang membuat sarapan. Dapur begitu berantakan, karena Papa tidak pandai memasak dan pagi itu Papa terlihat terburu-buru.

Aku menghampiri Papa dan memeluk kedua kakinya, Papa menoleh lalu menyunggingkan senyumnya.

“Sana mandi, abis itu sekolah,”

“Nggak mau sekolah, mau main aja sama Papa.”

“Sekolah dulu, ya, nanti pulang sekolah kita main.”

Padahal itu hanya alibi ku agar aku bisa menemani Papa. Mengingat semalam Papa demam. Tetapi pagi ini Papa bertindak seolah baik-baik saja.

Seperti memang sudah menjadi kebiasaan Papa menyembunyikan kelemahannya di depanku, bahkan hingga aku beranjak dewasa.

Saat aku memasuki sekolah menengah pertama Papa masih sama seperti aku saat di sekolah dasar dahulu.

Lalu saat SMA Papa sudah tidak lagi tidur bersamaku, hanya menemani sampai aku pulas lalu Papa tertidur di kamarnya.

Dan saat SMA aku mulai terbiasa menyembunyikan masalah yang ku hadapi, aku hanya tak ingin menambah beban pikiran Papa karena aku tahu Papa tidak sekuat yang terlihat.

Papa selalu menangis disaat aku tertidur, aku selalu mendengar ia mengatakan bahwa dirinya lelah. Aku mulai merasakan sakitnya Papa harus mengurusku sendirian. Aku dapat merasakan betapa Papa ingin terlihat sempurna dan terlihat baik-baik saja di depanku.

Sekarang, aku akan menikah, dan aku tidak lagi tinggal bersama Papa nantinya. Aku tidak tega karena aku selalu melihat Papa diam-diam menyeka air matanya.

Dahulu kulihat Papa ku tak bisa memasak, kini justru Papa yang mengajariku memasak.

Aku benar-benar tumbuh dengan baik di dalam pelukan Papa ku.

“Papa bakal terus ada di samping Anna sampe hari tua nanti.”

Begitu ucapnya yang membuat hati ku luluh lantak. Papa terlalu sempurna untuk di deskripsikan.


© Jupiter Lee

Harun membelokkan setirnya ke kanan, padahal arah rumah Anna ke kiri, membuat gadis itu menepuk-nepuk bahu lelaki yang memboncengnya.

“Mau kemana?”

“Kan gue udah bilang, gue mau ngomong,”

“Nanti Papa nyariin,”

“Gue udah izin, bawel.”

Anna tidak menjawab lagi. Seperti biasa, mereka sama-sama terdiam. Harun memperhatikan pantulan wajah Anna di kaca spion, batinnya reflek berkata 'cantik'

“Mau ke air mancur apa Sempur?” Tanya Harun dengan sedikit menggerakkan lehernya ke belakang.

“Sempur aja.”

“Oke.”

Kemudian beberapa menit setelah itu, Harun memberhentikan motornya di depan Taman Sempur. Mungkin karena suasana sore yang cukup mendung dan masuk musim penghujan, hawa Kota Bogor sekarang menjadi lebih dingin.

“Capek, mau duduk.” Anna merengek dengan wajahnya yang memang lelah karena baru pulang sekolah.

“Sini,” sembari melambaikan tangan, Harun juga menepuk kursi di sebelahnya.

“Kamu mau ngomong apa, sih?”

Tak menjawab, Harun malah merogoh kantong jaketnya. “Nih,” laki-laki itu menyodorkan sebuah gantungan kunci pada Anna.

“Buat aku?”

“Nggak, buat mamang basreng noh.” Anna melongo, “ya buat elo lah.”

“Lucu, kamu beli dimana?”

“Gak ada yang jual, gue bikin sendiri.”

“Bohong.”

Sebuah gantungan kunci rajut yang berbentuk matahari. Tidak mungkin Harun yang membuatnya, kan? batin Anna.

“Terserah percaya apa nggak.”

“Iya, deh. Terus kamu mau ngomong apa?”

“Mungkin lo bosen dengernya, tapi gue ngajak lo kesini karena gue mau minta maaf yang serius. Waktu itu kan minta maafnya gak jelas.”

“Kan aku udah maafin kamu,”

“Iya, gue tau, cuma gue belum puas aja, masih ngerasa bersalah.”

Lalu Harun membenarkan posisi duduknya dan sedikit memiringkan badan agar dapat lebih jelas menatap Anna. Hingga Anna tidak sadar kalau telapak tangannya berada di dalam genggaman kedua tangan Harun.

“Minta maaf...”

“Udah, aku udah ngelupain semuanya,”

“Padahal lo benci gue juga gak apa-apa. Gue jahat, gue sering ganggu lo semata-mata buat hiburan. Gue selalu nyinggung orang tua lo seolah-olah gue punya orang tua yang sempurna. Di kenyataannya ternyata lo punya Papa yang luar biasa sempurna. Gue malu.”

Melihat kedua manik mata Harun yang sudah memerah itu Anna tidak tega. Ia mengelus punggung tangan Harun bermaksud untuk menenangkannya.

“Gak apa-apa, wajar kok kalo manusia salah, dan manusia juga pasti bisa berubah. Aku tau kamu orang baik.”

Lelaki yang menunduk itu akhirnya mengangkat kepalanya. Sepasang netra yang saling menatap dan seakan mengirimkan sinyal secara tidak sengaja.

“Udah? Cuma mau ngomong ini aja?”

Harun terdiam sekejap, “iya,” jawabannya terlihat ragu, seperti ada lagi yang mau ia bicarakan tetapi ia tahan.

“Kenapa lo harus baik banget, Anna? Kenapa lo nggak benci gue aja? Apa lo sengaja mau bikin gue malu, karena gue sekarang... punya rasa.” Ungkap batin Harun.

Dan jauh di dalam hati Anna juga berbicara, “Apa aku yang terlalu berharap kamu punya rasa yang sama?”

Mengapa harus malu untuk mengungkapkan? Padahal perasaan kalian tidak bertepuk sebelah tangan.


© Jupiter Lee

Anna mengintip kedalam kamar Arman, menampakkan laki-laki itu sedang menggulung tubuhnya di dalam selimut.

“Papa...?”

Perlahan Arman menyembulkan kepalanya dan masih berupaya untuk tersenyum. “Baru pulang? Udah makan belum? Mau makan apa? Papa belum masak apa-apa, mau beli aja?”

Mendengar itu bibir Anna menekuk kebawah. Hatinya terenyuh akan ucapan sang Papa barusan.

“Papa sakit,”

“Nggak tuh?”

“Muka Papa pucet, badannya juga panas, jangan ngelak, Papa.”

Arman sudah tidak mampu untuk membohongi dirinya sendiri. Ia benar-benar kelelahan, tubuhnya sudah tidak sanggup.

“Sekarang Papa tiduran dulu, ya, Aku buatin bubur.”

“Nggak usah, Anna capek baru pulang sekolah, nanti aja, Papa nggak laper.”

“Tapi—”

Arman menarik tangan Anna untuk duduk di sebelahnya. Ia menggenggam tangan hangat itu dengan erat, sedangkan kedua matanya terpejam.

“Dulu kalo Papa sakit pasti pegangin tangan Mama kayak gini, abis itu sembuh deh.” Anna tidak menjawab hingga Arman melanjutkan kalimatnya, “ada cerita nggak tadi di sekolah ngapain aja?”

“Sama kayak hari-hari biasanya, cuma tadi ada Harun yang anter jemput.”

“Gitu, ya...” Perlahan suara Arman menghilang, Anna tahu Papa nya ini berpura-pura kuat di depannya.

“Lepas dulu, ya, Papa, Anna mau buat bubur nih,”

“Nggak mau... Jangan pergi, jangan kayak Mama... Papa gak mau ditinggal lagi... Papa gak mau sendiri...” Racau Arman dengan suhu tubuhnya yang semakin meningkat.

Tanpa memikirkan lagi Anna langsung menarik tangannya yang di genggam erat dengan sang Papa dan bergegas menuju dapur.

Gadis itu sering melihat Papa nya memasak bubur, sehingga ia tak perlu melihat tutorial dari YouTube.

Sembari menunggu buburnya matang, Anna merapikan rumahnya yang cukup berantakan karena sedari kemarin tak di bereskan. Ia juga masih memikirkan ucapan menyakitkan Neneknya tadi.

“Padahal gak apa-apa kok kalo Nenek benci sama aku, asalkan Nenek jangan benci sama Papa.”


Tok Tok Tok

“Papa? Anna masuk, ya?”

“Iya.” Sahut Arman dari dalam.

Disana Arman terbaring dengan dahi yang di kompres serta selimut yang hampir menutupi wajahnya.

“Papa... Ini buburnya makan dulu, ya? Nanti minum obat.”

“Nggak mau, Sahara, aku nggak mau makan.”

Anna menghela nafas panjang, lagi lagi nama Mama nya yang di sebut. Sejak tadi Arman terus meracau nama Sahara.

Tak ada lagi yang dapat Anna lakukan selain mengangkat paksa tubuh bongsor Arman, lalu menyandarkannya.

“Nih, aku suapin, aaaaaa

Arman tersenyum dan membuka mulut dengan kedua mata yang masih setia untuk tertutup.

“Enak.”

“Kalo enak makannya yang banyak, ya, Pa?”

“Iya,”

Akhirnya Arman mau menghabiskan bubur itu dan meminum obatnya. Kesadarannya perlahan pulih dan suhu tubuhnya menurun.

Anna merapikan lagi selimut Arman dan berniat untuk meninggalkan sang Papa beristirahat.

“Sekarang Papa tidur, biar besok sembuh.”

“Anna,”

“Kenapa, Pa? Ada yang sakit lagi?”

“Nggak ada,”

“Terus kenapa?”

“Anna gak ninggalin Papa, kan?”

Anna mengerutkan dahinya, “kok tiba-tiba tanya gitu? Nggak akan, Anna disini, buat Papa.”

Lagi. Arman meraih tangan mungil Anna dan membawa tangan itu kedalam dekapannya.

“Janji jangan tinggalin Papa, ya? Kalo Anna pergi nanti Papa sakit. Sekarang aja ada Anna Papa masih sakit, apalagi kalo Anna pergi.”

“Iya, Papa, Anna nggak pergi, Anna temenin Papa sampe tidur, ya.”

“Jangan sampe tidur aja, sampe selamaaaaanya, Anna harus di samping Papa selamanya.”

Enggan membuat Arman semakin banyak bicara yang nanti akan mengurangi waktu istirahatnya, Anna pun langsung mengiyakan apapun yang di minta dengan Papa nya sekarang.

Dengan begitu Arman tertidur dengan jemarinya yang bertautan dengan jemari gadis semata wayangnya. Setelah di rasa Arman tertidur cukup pulas, Anna bangkit untuk tidur di kamarnya.

Ia mengusap keringat yang memenuhi lelaki 38 tahun itu.

“Lekas sembuh, Papa.”


© Jupiter Lee