Merayakan Patah Hati

Sejak datang Deka tak banyak bicara seperti pada biasanya, ia terlihat kaku karena di depannya terdapat Farhan yang terus-menerus memperhatikan dirinya.

“Om, maaf, Jasmine nya ada?”

“Di kamarnya, nanti juga turun.”

Deka menghembuskan nafas diam-diam, namun kecepatan degup jantungnya perlahan mengendur saat melihat sosok Jasmine muncul dari tangga. Gadis itu tersenyum lebar seperti tidak akan terjadi apa-apa.

Farhan menoleh, “Bunda mana?”

“Lagi ke kamar mandi dulu, Yah,”

Deka menggerutu di dalam hati, pasalnya ia tidak mengerti situasi ini, yang ia tahu, ia hanya di minta untuk datang tanpa tahu tujuannya.

Farhan berdeham dengan menyamankan posisi duduknya. Sedangkan Deka duduk tepat di depannya.

“Begini Deka,”

Deka memajukan sedikit wajahnya dengan pikiran yang penuh akan tanda tanya.

“Kamu udah berapa lama sama anak saya?”

“Hari ini 4 tahun, Om.”

Hari ini, katanya. Benar, hari ini adalah tanggal Jasmine dan Deka berpacaran. Gadis itu langsung membuang pandangannya, ia merasa bersalah karena telah melupakan hari jadian mereka.

“Saya tau, kamu udah lama banget sama anak saya, saya juga tau kalian mungkin masih saling sayang. Tapi, saya nggak pernah ngeliat keseriusan kamu dengan anak gadis saya,”

“Saya serius, Om, saya juga nggak pernah main belakang selama pacaran,” Deka berusaha mengelak.

“Ya, saya tau. Keseriusan yang saya maksud itu keseriusan kamu untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius, Deka.”

Lelaki itu terdiam sampai Farhan melanjutkan kalimatnya.

“Jasmine mau saya jodohkan, dan dia sendiri sudah menyetujui perjodohan ini.”

Runtuh. Hati Deka seakan di sambar dengan petir. Penyataan Farhan barusan benar-benar mengejutkan dan sangat mendadak. Ia menunduk dengan kedua tangan saling mengepal dan bergetar. Sekujur tubuhnya lemas bukan main.

Ia memberanikan diri menatap Jasmine, meskipun hatinya sudah terkoyak, “lo mau dijodohin, Mine?”

“Iya.” Jasmine menjawab namun tidak menatap Deka.

“Om, kalo boleh saya tau, Jasmine mau dijodohin sama siapa, ya?”

Tepat setelah Deka menanyakan itu, di depan pintu yang sedang terbuka lebar menampakkan sosok Azzam sedang memberi salam agar diizinkan masuk.

“Masuk aja, Nak.” Seru Farhan.

Azzam benar-benar baru pulang dari Masjid, masih menggunakan baju koko dengan sarung yang di lipat di pundaknya. Rambut Azzam tersibak ke belakang hingga dahi lelaki itu terekspos jelas dan surai hitamnya juga masih basah yang sepertinya itu bekas dari air wudhu.

Deka memperhatikan Azzam dari laki-laki itu berdiri di depan pintu sampai terduduk. Jujur saja Deka sendiri kagum melihat Azzam yang begitu berwibawa namun teduh di pandang.

“Deka, ini Azzam, ini lelaki yang mau dijodohkan sama Jasmine.” Ucap Farhan sembari menepuk-nepuk punggung Azzam di sebelahnya.

Azzam tersenyum dan sedikit menundukkan kepalanya.

Deka ingin menangis. Ia tak sanggup berkata-kata, tak sanggup untuk berkomentar dan tidak dapat lagi menolak keputusan ini. Ia dapat melihat jelas perbedaannya yang sangat kontras dengan Azzam. Lelaki itu mengenakan baju koko dan aura kharismatik nya menguar, sedangkan Deka, ia menggunakan hoodie dan celana jeans sobek di lututnya. Berbeda 180 derajat.

“Jadi ini calonnya Jasmine?”

Azzam mengangguk.

“Kalo gitu, Om, saya rela kok.” Deka dengan suara bergetarnya itu berusaha kuat.

“Saya rasa ini yang terbaik buat anak gadis saya, semoga kamu bisa mengerti kondisi ini, ya, Deka. Semoga kamu juga bisa mendapatkan wanita yang jauh lebih baik lagi nantinya,” Farhan seakan sedang menenangkan, meskipun tak ada artinya bagi Deka.

“Iya, Om, saya ngerti. Saya juga gak ada apa-apanya kalo di banding sama Azzam. Saya yakin Azzam pasti pilihan terbaik. Kalo begitu, saya terima ini semua, saya ikhlas.”

“Saya minta maaf, Deka, saya nggak bermaksud untuk menyakiti kamu,”

“Lo gak usah minta maaf. Nggak ada yang salah disini, ini takdir, kan? Berarti Jasmine bukan milik gue. Gue cuma jagain jodoh lo aja.” Deka tersenyum. Dan senyum itu sangat menyakitkan untuk dilihat.

“Jagain Jasmine, ya, semoga lo berdua bahagia terus dan lancar sampe ke pelaminan,”

Semua nya terdiam, dan Deka pun akhirnya memilih untuk pamit pulang karena berada di tengah-tengah ini sangat menyayat hatinya.

“Om, saya pulang, ya. Azzam, Jasmine, gue pulang,”

“Terimakasih sudah mengerti, ya, kamu pasti akan mendapatkan yang lebih baik.”

“Iya, Om.”

Usai berpamitan, Deka langsung berjalan keluar, menaiki motor sportnya. Ia memperhatikan wajah Jasmine yang terlihat dari jauh. Deka masih sangat mencintainya hingga terasa sesak.

“Semesta gue... Direbut.” Gumam Deka di dalam hati dan langsung memutar gas motornya dengan kecepatan penuh.

“Selamat empat tahun, Jasmine, I love you. Forever.”