bblueplanet

Sesampainya mereka di arena, Arman langsung di sambut tidak ramah dengan Raka—pimpinan ‘Arena 911’.

“Tenyata lo dateng, Run.”

Harun, katanya. Raka memang tidak tahu jika orang yang ada di balik helm full-face itu adalah Arman. Sedangkan Harun berada di tepi arena bersama Anna dan Sean.

“Harun, Papa—”

“Jangan panggil gue Harun! Karena gue lagi tukeran posisi sama Papa lo!”

“Ey calm down, bro.” Sean ikut menimbrung.

Tak lama Raka mendekat menghampiri Anna dipinggir sana. Tatapannya pada Anna itu errr seperti penuh hasrat.

Melihat hal itupun Harun menggenggam lengan Anna dan disembunyikan di balik tubuhnya.

“Hai, Anna, cantik banget.” Sapa nya dengan nada yang menjijikkan.

Harun pun semakin menarik Anna ke belakang badannya

“Lo siapa? Bokap nya?” Raka mengabsen tiap inci tubuh Harun.

Harun tak berani membuka suara karena takut dirinya ketahuan, itupun ia tak melepas helm. Untung saja Sean peka dengan situasi ini.

“Mesum banget muka lo ya, monyet, jauh-jauh lo!”

“Ok, tunggu gue menang ya, nanti kita main.” Raka hendak menyentuh dagu Anna, namun di tepis kasar dengan Harun.

Setelah itu aksi balapan itu pun dilaksanakan. Dua orang yang sedang bersiap di garis start itu adalah Arman dan Raka, mereka sama-sama memainkan gas motornya sebagai pemanasan.

Hingga saat bendera telah di angkat, kedua motor itu melaju dengan sangat cepat. Awalnya Raka memimpin di depan, tapi tak lama Arman menyusul Raka dan menyamakan posisinya.

Papa gak akan biarin laki-laki sampah ini nyentuh kamu seujung kuku sekalipun.

Putaran pertama dimenangkan dengan Arman, akan tetapi putaran kedua dimenangkan dengan Raka. Karena poin mereka seimbang, dibutuhkan putaran terakhir untuk menentukan pemenangnya.

Hembusan angin dari dua motor balap itu membuat Anna hampir terkejut dan hampir kehilangan keseimbangannya, lalu terjatuh, kedalam pelukan Sean.

“Mundur makanya,”

“Nggak! Aku takut Papa kenapa-napa. Kamu kan tau udah bukan umur Papa buat ikutan balapan kayak gini!” Bentak Anna pada Sean dengan sudut mata yang berkaca-kaca.

Harun menghembuskan nafasnya kasar, “gak usah nangis, Papa lo itu hebat, percaya sama gue.”

Saat ketiganya sedang sibuk berbincang, sebuah peluit ditiup dan orang-orang yang menonton bersorak untuk merendahkan Raka yang ternyata kalah dalam putaran terakhir.

“ANNA LIAT! PAPA LO MENANG!”

Kemudian Arman menuruni motornya dan menghampiri Anna dengan nafas yang tersengal-sengal.

“PAPA!!!” Anna berteriak seraya berlari untuk meraih tubuh sang Papa.

Grebbb

“Bener, kan? Papa menang, kan?”

“Aku gak mau liat Papa kayak gini lagi, aku takut Papa jatuh. Janji ini yang terakhir, ya?”

“Ini bakal jadi yang terakhir, Papa janji. Kecuali kalo dia masih mau gangguin kamu.”

Harun menepuk bahu Arman sekilas. “Keren banget, Om.”

“Iya, Om, kece badai!”

“Makasih udah mau jagain anak saya.”

“Segitunya, ya, Om, sampe rela-relain buat balapan?” Harun tiba-tiba bertanya.

“Bahkan kalo harus ditukar pakai nyawa saya buat ngelindungin Anna pun saya rela.” Arman menjeda ucapannya sembari memperhatikan anak gadisnya yang dilihat semakin dewasa, “nggak akan saya kasih ampun buat orang yang berani nyakitin satu-satunya harta yang saya punya, separuh dari nafas saya dan separuh dari jiwa saya.”

Ucapan Arman berhasil membuat Harun dan Sean menunduk hampir menangis.

“Sean, ternyata orang yang selama ini gue sakitin penuh akan kasih sayang dari Papa nya, dibanding gue yang punya orang tua tapi gak pernah peduli kondisi anaknya.”

“Yang berlalu biar jadi kenangan, jadiin sebagai pelajaran supaya kalian jadi orang yang lebih baik kedepannya.”


ZHEREA bergegas keluar rumah saat mendengar suara klakson dari depan pintu pagarnya. Namun saat ia melongok, tak ada satupun kendaraan yang terparkir di depan sana. Ia menjadi sedikit cemas takut akan di bohongi dengan si Anonymous.

Lalu tak lama sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya

Anonymous |Aku tidak diizinkan masuk dengan satpam, tolong kamu ke depan komplek saja. 19:12 p.m

Lantas ia menuju depan komplek dengan langkah terburu-terburu. Disana ia melihat laki-laki menggunakan setelan serba hitam sedang berbincang dengan satpam penjaga komplek. Melihat itu, kecemasan Zherea terhadap Anonymous menjadi berkurang.

“Zherea!” Teriak si Anon sembari melambaikan tangan.

Zherea mendekat, dan langsung merasa terkejut, terkagum dan terpesona dengan paras tampan si Anonymous. Tanpa butuh waktu lama, Zherea jatuh cinta.

Apakah ia melupakan peringatan dari sang Anonymous? Apakah ia sengaja menantang nyawa nya?

“Sudah kubilang, aku ini orang baik,”

“I-i-ya, maaf udah nuduh kamu yang macem-macem.”

“Kalo gitu ayo pergi, nanti semakin larut.”

Anonymous menjulurkan tangannya untuk di genggam, dan Zherea pun menjulurkan tangannya sehingga mereka menjadi bergandengan. Lelaki itu pamit pergi dengan satpam komplek yang ia ajak bicara tadi. Namun Zherea melihat wajah si satpam terlihat sangat ketakutan, padahal Zherea tidak melihat apapun yang mencurigakan dari yang si Anonymous itu lakukan pada satpam.


Hening.

Mereka berdua sama-sama terdiam di kesunyian.

Sampai akhirnya Anonymous membuka pembicaraan dengan pertanyaan yang mendadak.

“Rea, kamu menyukaiku?”

“Kenapa tiba-tiba nanya gitu?” Zherea terlihat gugup.

“Jawab saja.”

“Kalo aku suka kamu, kenapa?”

“Kok di tanya?”

Lalu Anonymous memperlambat langkah kakinya, dan menatap Zherea dengan tatapan yang seolah ingin menerkam. Sebelah tangannya merogoh sesuatu di dalam saku jaketnya.

Sebuah pisau.

WARNING! MEMBACA INI MUNGKIN SAJA MENYEBABKAN TRAUMA. BAGI PEMBACA DI BAWAH UMUR DAN PEMBACA YANG SENSITIF DIANJURKAN TIDAK MEMBACA.

ANONYMOUS itu mengeluarkan sebuah pisau dari jaketnya, membuat kedua bola mata Zherea membulat sempurna. Gadis itu ingin berlari, namun kakinya benar-benar lemas, seperti tidak dapat bergerak, lidahnya pun menjadi kelu tak dapat bersuara. Ia hanya dapat menggeleng, memohon agar Anon itu tidak menyakitinya. Tapi sayang, sepertinya sudah terlambat. Dengan kekuatan yang ada, Zherea berlari menjauh. Yang membuat gadis itu bingung adalah ketika si Anon tidak mengejarnya, justru malah berjalan santai sembari menyeret-nyeret balok besar yang entah darimana ia dapatkan. Hingga akhirnya, Zherea sudah tak lagi melihat wujud psikopat tampan itu mengikutinya. Ia menghela nafas, melihat sekelilingnya, Ya Tuhan, dirinya sudah berada jauh dari komplek. Tak terasa ia berlari sudah sampai sejauh ini. Tapi ia tak peduli, daripada harus menjadi mangsa sang predator.

Zherea lelah, ia duduk menyandarkan punggungnya di trotoar jalan yang benar-benar sepi, seperti tidak ada kehidupan. Ia melongok gorong-gorong air di bawahnya, ada perasaan tidak enak, ia mendengar suara laki-laki berdeham dari dalam gorong-gorong itu. Zherea berusaha membuang perasaan aneh itu, namun semakin ingin disingkirkan, suasana terasa semakin mencekam. Ia benar-benar merasa seperti diintai. Dengan begitu ia bangkit dari duduknya dan berusaha pergi. Namun... Kakinya ditarik dengan seseorang hingga masuk ke dalam gorong-gorong air yang gelap itu. Ia memejamkan mata, tak berani melihat wujud menyeramkan yang ada di hadapan nya.

Benar saja, saat Zherea membuka mata, sosok manusia berkostum badut menyeramkan berdiri tepat didepannya dengan senyum yang menyeringai. Merinding.

Zherea ingin sekali berteriak, namun pita suaranya seolah menahan suara itu agar tidak keluar. Ia gelagapan sewaktu si Anonymous mengunci leher Zherea dengan tangan besarnya. Lalu ia menancapkan sebuah pisau pada lengan kiri atas Zherea, lalu merobek daging lengannya hingga ke bawah dengan sangat kasar. Sontak saja lengan kiri itu bagaikan sebuah sosis yang dibelah, tulang-tulangnya terlihat jelas. Angin malam yang menghembus melewati daging segar itu menjadi sangat menyakitkan. Perih. Perih sekali. Zherea ingin menangis meneriaki nama sang Mama.

Gadis itu hampir kehilangan tenaga, ia terduduk di tanah gorong-gorong yang terdapat genangan air bercampur darahnya. Tak lama Anonymous berjongkok dihadapan Zherea, dan membuka topeng badut menyeramkannya, berganti menjadi wajah lelaki yang tampan sempurna.

Pria itu mengangkat dagu Zherea, “hei... Ini baru permulaan.”

“S-s-sakit... Beneran... Sakit....”

“Baru lengan mu yang ku robek, masih ada perutmu, jantungmu, kepalamu. Aku merasakan betapa nikmatnya membelah kepala ini dengan kapak, kemudian mencungkil otakmu dan memakannya. Terdengar lezat bukan?”

“Aku mohon... Lepasin... Lepasin aku!” Zherea meringis menggigit kuat bibir bawahnya.

“Oh, kamu ingin merobek bibirmu? Tidak perlu susah payah begitu, aku akan membantunya. Dengan senang hati.”

Lalu Anonymous itu mengeluarkan silet dari saku nya dan merobek bibir ranum Zherea serta menghisap darah yang keluar dari daging bibirnya yang terbuka. Posisinya seperti orang yang sedang kissing.

“Darah nya menjadi manis, seperti meminum jus stroberi. Aku tidak akan merobek bibir atasmu sekarang, nanti saja, jika aku haus lagi.”

“Aku... Nyesel... Huhuhu... Bebasin aku...”

“Terlambat. Padahal sudah kuberi peringatan bukan? Kamu ini keras kepala sekali.”

Kemudian, Zherea menendang kemaluan Anonymous dengan keras, hingga laki-laki itu terjerembab kebelakang. Mendapat kesempatan ini Zhere langsung melompat melarikan diri, tak peduli dengan lengannya yang hampir terbelah dua. Ia berlari ke sembarang arah, memasuki kawasan kebun yang sangat gelap.

Setiap lima detik Zherea melongok kebelakang, namun tidak ada Anonymous yang sedang mengejarnya. Ia belajar dari pengalaman, bisa saja pembunuh itu memasang jebakan baru. Dan Zherea pun memilih untuk berlari terus, berlari sejauh-jauhnya. Sampai... Jalanan kebun itu buntu. Keringat dingin mengucur dari dahi Zherea, karena jalanan ini sudah mencapai batasnya, jika ia melanjutkan pelarian, maka ia akan masuk kedalam hutan. Zherea takut dirinya tidak mati di tangan pembunuh, malah mati di terkam hewan buas.

Gadis itu berpikir keras, ia memejamkan mata kuat-kuat, berharap ada jalan keluar dari permasalahan ini. Akan tetapi di sela-sela itu, Zherea merasa hidungnya menyentuh sesuatu, padahal ia rasa, ia berdiri di tengah-tengah, tidak di dekat ranting pohon atau semacamnya. Deru nafas pun menjadi tidak beraturan, jantungnya berdegup kencang bukan main. Dan saat ia membuka kelopak mata itu perlahan... ANONYMOUS ITU BENAR-BENAR DI DEPAN WAJAHNYA! Namun menggunakan kostum yang berbeda.

“Hello, Dear? Nice to meet you...”

“PSIKOPAT BAJINGAN!!!!!!” Zherea berteriak sembari mendorong tubuh pembunuh itu, lalu berlari mencari tempat persembunyian.

Kali ini Anonymous benar-benar mengejarnya, sembari mengangkat sebuah kapak besar. Zherea berlari sekencang mungkin, tapi ia terjatuh, tangannya yang terbelah itu mengenai tanah. SAKIT SEKALI!

Saat ia berusaha berdiri, Anonymous memergokinya dan cepat-cepat menghampiri Zherea. Gadis itu ingin pasrah, tetapi ia melihat ada balok kayu yang terkapar tak jauh dari tubuhnya. Ia berharap kayu itu bisa menjadi senjata perlindungannya. Dan saat Anonymous mendekatinya, Zherea langsung menghantamkan balok kayu itu tepat di kepala. Lalu ia kabur lagi, mumpung pembunuh itu sedang sibuk memegangi kepalanya.

Zherea sudah tidak sanggup berlari, hingga pilihan terburuknya adalah... Memilik masuk kedalam bangunan kosong yang terletak di tengah-tengah hutan. Entahlah badut menyeramkan itu melihat jejaknya masuk kedalam bangunan itu atau tidak. Zherea mengumpat di bawah meja. Tak lama terdengar suara langkah kaki, dengan suara pisau yang sedang di asah dan di susul dengan suara nyanyian menakutkan.

“Zherea, Zherea... Aku datang... Aku datang dan tak akan pulang... Sampai aku membuat sup usus segar dari tubuhmu.... Zherea, Zherea keluaralah... Karena aku sudah melihatmu.”

Zherea sudah tidak bisa berlari lagi. Zherea pasrah, inilah, akhir hidupnya... yang tragis.

Zherea diikat kuat di sebuah kursi. Anonymous itu memasukkan kecoa kedalam mulut Zherea, dan menyuruh Zherea mengunyah kecoa itu hidup-hidup, kaki serangga menjijikkan itu bergerak-gerak di dalam mulutnya. Ia tidak bisa memuntahkan kecoa itu karena mulutnya di tutup dengan tangan si Anonymous. Hingga ia terpaksa, menelan serangga nya.Daging lengannya yang terbuka itu di siram dengan air soda. Bayangkan saja rasanya sesakit apa. Penyiksaan masih berlanjut, jari-jari kaki Zherea di potong habis menggunakan kapak, lalu potongan jari nya di masukkan ke dalam botol. Kedua daun telinganya di gunting, dan di masukkan ke dalam botol juga.

“Kalau mau bunuh, tolong langsung saja bunuh aku... Jangan di siksa seperti ini... Kamu gak punya hati!”

“Aku memang tidak memiliki hati, karena itu aku ingin mengambil hati mu.”

“BRENGSEK! BAJINGAN! KEPAR—”

JREBBBB!

Sebuah pisau menancap sempurna di perut Zherea. Lalu pisau itu di cabut kembali, dan di tancapkan ke bagian tubuh yang lainnya, hingga gadis itu benar-benar berada di akhir hidupnya. Meski sudah sekarat, Zherea masih dapat melihat samar-samar psikopat itu mengambil cangkul dan bersiap untuk di layangkan ke kepala Zherea. Sebelum hal itu terjadi, dan sebelum benda mengerikan itu menyangkut membelah tempurung kepalanya. Zherea berbicara di dalam hatinya.

“Mama, Papa, maafin Rea, maafin Rea udah gak bisa jagain Mama Papa lagi, maafin Rea yang selalu nyusahin Mama sama Papa buat ngelindungin Rea. maafin Rea harus mati tragis, maafin Rea, Ma... Pa... Rea—”

JREBBBBBBB!

Cangkul itu melesat tepat di tengah-tengah kepalanya, hingga terbelah dua, hingga kedua bola Zherea meloncat keluar.

Gadis itu tewas, tewas dengan sangat tragis.

Tenyata Anonymous itu masih belum puas. Ia akhirnya memiliki ide untuk menguliti jasad Zherea, bahkan mengambil organ tubuhnya, dan yang paling kejam, jasad yang masih hangat itu di bakar hingga hangus mengering. Ia menuliskan sesuatu di tembok, isi tulisannya adalah;

I very like it! And the next target is (22.E.Love.12.25)

— END —


versi notion lebih bagus karena ada gambarnya

WARNING! MEMBACA INI MUNGKIN SAJA MENYEBABKAN TRAUMA. BAGI PEMBACA DI BAWAH UMUR DAN PEMBACA YANG SENSITIF DIANJURKAN TIDAK MEMBACA.

ANONYMOUS itu mengeluarkan sebuah pisau dari jaketnya, membuat kedua bola mata Zherea membulat sempurna. Gadis itu ingin berlari, namun kakinya benar-benar lemas, seperti tidak dapat bergerak, lidahnya pun menjadi kelu tak dapat bersuara. Ia hanya dapat menggeleng, memohon agar Anon itu tidak menyakitinya. Tapi sayang, sepertinya sudah terlambat. Dengan kekuatan yang ada, Zherea berlari menjauh. Yang membuat gadis itu bingung adalah ketika si Anon tidak mengejarnya, justru malah berjalan santai sembari menyeret-nyeret balok besar yang entah darimana ia dapatkan.

Hingga akhirnya, Zherea sudah tak lagi melihat wujud psikopat tampan itu mengikutinya. Ia menghela nafas, melihat sekelilingnya, Ya Tuhan, dirinya sudah berada jauh dari komplek. Tak terasa ia berlari sudah sampai sejauh ini. Tapi ia tak peduli, daripada harus menjadi mangsa sang predator. Zherea lelah, ia duduk menyandarkan punggungnya di trotoar jalan yang benar-benar sepi, seperti tidak ada kehidupan. Ia melongok gorong-gorong air di bawahnya, ada perasaan tidak enak, ia mendengar suara laki-laki berdeham dari dalam gorong-gorong itu.

Zherea berusaha membuang perasaan aneh itu, namun semakin ingin disingkirkan, suasana terasa semakin mencekam. Ia benar-benar merasa seperti diintai. Dengan begitu ia bangkit dari duduknya dan berusaha pergi. Namun... Kakinya ditarik dengan seseorang hingga masuk ke dalam gorong-gorong air yang gelap itu. Ia memejamkan mata, tak berani melihat wujud menyeramkan yang ada di hadapan nya.

Benar saja, saat Zherea membuka mata, sosok manusia berkostum badut menyeramkan berdiri tepat didepannya dengan senyum yang menyeringai. Merinding.

Zherea ingin sekali berteriak, namun pita suaranya seolah menahan suara itu agar tidak keluar. Ia gelagapan sewaktu si Anonymous mengunci leher Zherea dengan tangan besarnya. Lalu ia menancapkan sebuah pisau pada lengan kiri atas Zherea, lalu merobek daging lengannya hingga ke bawah dengan sangat kasar. Sontak saja lengan kiri itu bagaikan sebuah sosis yang dibelah, tulang-tulangnya terlihat jelas. Angin malam yang menghembus melewati daging segar itu menjadi sangat menyakitkan. Perih. Perih sekali. Zherea ingin menangis meneriaki nama sang Mama.

terduduk di tanah gorong-gorong yang terdapat genangan air bercampur darahnya. Tak lama Anonymous berjongkok dihadapan Zherea, dan membuka topeng badut menyeramkannya, berganti menjadi wajah lelaki yang tampan sempurna.

Pria itu mengangkat dagu Zherea, “hei... Ini baru permulaan.”

“S-s-sakit... Beneran... Sakit....”

“Baru lengan mu yang ku robek, masih ada perutmu, jantungmu, kepalamu. Aku merasakan betapa nikmatnya membelah kepala ini dengan kapak, kemudian mencungkil otakmu dan memakannya. Terdengar lezat bukan?”

“Aku mohon... Lepasin... Lepasin aku!” Zherea meringis menggigit kuat bibir bawahnya.

“Oh, kamu ingin merobek bibirmu? Tidak perlu susah payah begitu, aku akan membantunya. Dengan senang hati.”

Lalu Anonymous itu mengeluarkan silet dari saku nya dan merobek bibir ranum Zherea serta menghisap darah yang keluar dari daging bibirnya yang terbuka. Posisinya seperti orang yang sedang kissing.

“Darah nya menjadi manis, seperti meminum jus stroberi. Aku tidak akan merobek bibir atasmu sekarang, nanti saja, jika aku haus lagi.”

“Aku... Nyesel... Huhuhu... Bebasin aku...”

“Terlambat. Padahal sudah kuberi peringatan bukan? Kamu ini keras kepala sekali.”

Kemudian, Zherea menendang kemaluan Anonymous dengan keras, hingga laki-laki itu terjerembab kebelakang. Mendapat kesempatan ini Zhere langsung melompat melarikan diri, tak peduli dengan lengannya yang hampir terbelah dua. Ia berlari ke sembarang arah, memasuki kawasan kebun yang sangat gelap.

Setiap lima detik Zherea melongok kebelakang, namun tidak ada Anonymous yang sedang mengejarnya. Ia belajar dari pengalaman, bisa saja pembunuh itu memasang jebakan baru. Dan Zherea pun memilih untuk berlari terus, berlari sejauh-jauhnya. Sampai... Jalanan kebun itu buntu. Keringat dingin mengucur dari dahi Zherea, karena jalanan ini sudah mencapai batasnya, jika ia melanjutkan pelarian, maka ia akan masuk kedalam hutan. Zherea takut dirinya tidak mati di tangan pembunuh, malah mati di terkam hewan buas.

Gadis itu berpikir keras, ia memejamkan mata kuat-kuat, berharap ada jalan keluar dari permasalahan ini. Akan tetapi di sela-sela itu, Zherea merasa hidungnya menyentuh sesuatu, padahal ia rasa, ia berdiri di tengah-tengah, tidak di dekat ranting pohon atau semacamnya. Deru nafas pun menjadi tidak beraturan, jantungnya berdegup kencang bukan main. Dan saat ia membuka kelopak mata itu perlahan... ANONYMOUS ITU BENAR-BENAR DI DEPAN WAJAHNYA! Namun menggunakan kostum yang berbeda.

“Hello, Dear? Nice to meet you...”

“PSIKOPAT BAJINGAN!!!!!!” Zherea berteriak sembari mendorong tubuh pembunuh itu, lalu berlari mencari tempat persembunyian.

Kali ini Anonymous benar-benar mengejarnya, sembari mengangkat sebuah kapak besar. Zherea berlari sekencang mungkin, tapi ia terjatuh, tangannya yang terbelah itu mengenai tanah. SAKIT SEKALI!

Saat ia berusaha berdiri, Anonymous memergokinya dan cepat-cepat menghampiri Zherea. Gadis itu ingin pasrah, tetapi ia melihat ada balok kayu yang terkapar tak jauh dari tubuhnya. Ia berharap kayu itu bisa menjadi senjata perlindungannya. Dan saat Anonymous mendekatinya, Zherea langsung menghantamkan balok kayu itu tepat di kepala. Lalu ia kabur lagi, mumpung pembunuh itu sedang sibuk memegangi kepalanya.

Zherea sudah tidak sanggup berlari, hingga pilihan terburuknya adalah... Memilik masuk kedalam bangunan kosong yang terletak di tengah-tengah hutan. Entahlah badut menyeramkan itu melihat jejaknya masuk kedalam bangunan itu atau tidak. Zherea mengumpat di bawah meja. Tak lama terdengar suara langkah kaki, dengan suara pisau yang sedang di asah dan di susul dengan suara nyanyian menakutkan.

“Zherea, Zherea... Aku datang... Aku datang dan tak akan pulang... Sampai aku membuat sup usus segar dari tubuhmu.... Zherea, Zherea keluaralah... Karena aku sudah melihatmu.”

Zherea sudah tidak bisa berlari lagi. Zherea pasrah, inilah, akhir hidupnya... yang tragis.

Zherea diikat kuat di sebuah kursi. Anonymous itu memasukkan kecoa kedalam mulut Zherea, dan menyuruh Zherea mengunyah kecoa itu hidup-hidup, kaki serangga menjijikkan itu bergerak-gerak di dalam mulutnya. Ia tidak bisa memuntahkan kecoa itu karena mulutnya di tutup dengan tangan si Anonymous. Hingga ia terpaksa, menelan serangga nya.

Daging lengannya yang terbuka itu di siram dengan air soda. Bayangkan saja rasanya sesakit apa. Penyiksaan masih berlanjut, jari-jari kaki Zherea di potong habis menggunakan kapak, lalu potongan jari nya di masukkan ke dalam botol. Kedua daun telinganya di gunting, dan di masukkan ke dalam botol juga.

“Kalau mau bunuh, tolong langsung saja bunuh aku... Jangan di siksa seperti ini... Kamu gak punya hati!”

“Aku memang tidak memiliki hati, karena itu aku ingin mengambil hati mu.”

“BRENGSEK! BAJINGAN! KEPAR—”

JREBBBB!

Sebuah pisau menancap sempurna di perut Zherea. Lalu pisau itu di cabut kembali, dan di tancapkan ke bagian tubuh yang lainnya, hingga gadis itu benar-benar berada di akhir hidupnya. Meski sudah sekarat, Zherea masih dapat melihat samar-samar psikopat itu mengambil cangkul dan bersiap untuk di layangkan ke kepala Zherea. Sebelum hal itu terjadi, dan sebelum benda mengerikan itu menyangkut membelah tempurung kepalanya. Zherea berbicara di dalam hatinya.

“Mama, Papa, maafin Rea, maafin Rea udah gak bisa jagain Mama Papa lagi, maafin Rea yang selalu nyusahin Mama sama Papa buat ngelindungin Rea. maafin Rea harus mati tragis, maafin Rea, Ma... Pa... Rea—”

JREBBBBBBB!

Cangkul itu melesat tepat di tengah-tengah kepalanya, hingga terbelah dua, hingga kedua bola Zherea meloncat keluar.

Gadis itu tewas, tewas dengan sangat tragis.

Tenyata Anonymous itu masih belum puas. Ia akhirnya memiliki ide untuk menguliti jasad Zherea, bahkan mengambil organ tubuhnya, dan yang paling kejam, jasad yang masih hangat itu di bakar hingga hangus mengering. Ia menuliskan sesuatu di tembok, isi tulisannya adalah;

I very like it! And the next target is (22.E.Love.12.26)


Kalo versi notion lebih bagus sebenernya, ada gambarnya gitu wkwkwkwk

ANDRE menghela nafasnya panjang-panjang sewaktu melihat kedua anak gadis berjalan mendekati mobilnya sembari tertawa. Perlahan semakin dekat hingga Junita mampu mengetuk kaca dan mengintip kedalam.

“Andreeee i'm coming!” Suara melengking Junita itu seolah ingin memecah gendang telinga Andre.

“Gimana nih? Siapa yang mau didepan?” Sisil melihat Junita dan Andre bergantian.

“Lo aja deh, gue dibelakang.”

“Nggak ah, lo aja, sekalian PDKT tuh. Ya, gak, Dre?”

Andre memejamkan mata mendengar kedua perempuan itu mendebatkan posisi duduk, “salah satu dari kalian yang nyetir, gue dibelakang, gimana?” Ujar Andre asal.

“UDAH GILA?!” Terdengar Sisil dan Junita berteriak kompak tepat disamping telinga Andre.

“Bodoamat, ah, gue dibelakang! Lo sama Andre didepan aja, Jun! Bye!” Sisil langsung menduduki bangku belakang dan menyandarkan kepalanya pada bantalan.

Hal itu membuat Junita tak dapat menolak posisi duduknya yang harus bersebelahan dengan Andre. Selang beberapa menit hening, gadis dibelakang itu membuka suara tanpa membuka mata.

“Anggep ajalah gue seonggok gelas ale-ale diantara kalian yang mau honeymoon”

“HONEYMOON GIGI LO GENDUT?!” Balas Andre sewot.


Mereka sampai ke tempat tujuan. Telihat dari jauh ada beberapa toko yang menjajakan poster-poster Javas The Perfect Boyz. Junita dan Sisil sontak lepas kendali dan berlari dengan semangat menuju sebuah toko yang mereka cari.

“Anying gue ditinggal! Woy! Jangan jauh-jauh! Entar ilang, gue yang tanggung jawab!” Teriak Andre yang hanya dibalas kacang dengan keduanya.

“Javas Javas apaan sih, kayak ganteng aja.” Andre masih menyambung gerutuannya, kemudian berlari menyusul Sisil dan Junita.


written by @bblueplanet

PAGI itu Pahlevi sudah berseragam pramuka lengkap dengan setangan leher dan topi yang dipenuhi pin penghargaan. Lelaki itu melongok sekilas dirinya dihadapan kaca. Terbesit kalimat singkat di dalam hatinya “ganteng”.

    “Duh aduh,” goda sang Mama yang tak sengaja melihat putra sulungnya bergaya di depan kaca itu.

    “Eh, Mama. Aku berangkat dulu ya, Ma. Hari pertama aku ngajar nih.”

    “Iya, Nak. Semoga ini jalan sukses buat kamu. Mama cuma bisa doain aja.”

    “Justru doa Mama yang Levi butuhin, Ma.” Jawab lelaki itu dengan melemparkan senyum manisnya.


Kelima pembina pramuka baru itu benar-benar menjadi sorotan mata seluruh warga sekolah. Bagaimana tidak, mereka semua memiliki wajah tampan yang nggak ada obat, terlebih lagi yang menjadi pusat perhatian adalah Galintang dan Pahlevi.

Galintang yang terlihat seperti bule dengan rambut blonde-nya. Kemudian Pahlevi yang nampak jelas aura kharismatik-nya. Semua siswi disana menjerit sewaktu Pahlevi memberikan senyum sembari sedikit membungkukkan badannya.

Brughhh!

“Maaf, maaf banget gue— Eh?!” Perempuan itu menutup mulutnya. Terkejut.

“Oh, ya, gapapa, hati-hati.” Jawab Pahlevi selaku orang yang tak sengaja tertabrak dengan Shereen.

“Kak Levi, ya?”

“Iya. Kamu siapa?”

“Gue Shereen. Anak malang yang dipaksa ikut pasus.” Jawab gadis itu dengan sedikit menyinggung.

Tiba-tiba saja Zaki menginjak kaki Shereen hingga ia terlonjak. Lelaki berkulit putih itu memberikan kode wajah agar Shereen berbicara dengan lebih sopan.

“Ya gausah nginjek dong anj—ay,” Shereen tersenyum canggung, “hehe, maafin saya, Kak.” Ucapnya sembari menunduk kemudian berjalan menjauh.

Pahlevi melihat sebuah uang dengan nominal dua puluh ribu tergeletak di dekat sepatunya. Ia yakin itu adalah uang milik gadis tadi yang tak sengaja terjatuh. Niatnya yang hendak memanggil menjadi urung kembali karena Shereen sudah lenyap dari pandangannya.

Teledor.” Gumam Pahlevi pelan.


Written with love, Jupiter.

PAGI itu Pahlevi sudah berseragam pramuka lengkap dengan setangan leher dan topi yang dipenuhi pin penghargaan. Lelaki itu melongok sekilas dirinya dihadapan kaca. Terbesit kalimat singkat di dalam hatinya “ganteng”.

    “Duh aduh,” goda sang Mama yang tak sengaja melihat putra sulungnya bergaya di depan kaca itu.

    “Eh, Mama. Aku berangkat dulu ya, Ma. Hari pertama aku ngajar nih.”

    “Iya, Nak. Semoga ini jalan sukses buat kamu. Mama cuma bisa doain aja.”

    “Justru doa Mama yang Levi butuhin, Ma.” Jawab lelaki itu dengan melemparkan senyum manisnya.

Andre yang sudah turun dari motornya itu berjalan ke arah pintu kemudian mengetuknya tiga kali. Tak sampai dua detik pintu rumah itu langsung terbuka lebar, menampakkan sang pemilik rumah yang sudah menunggunya.

“LAMA IH,” gerutu Junita sembari memukul ringan lengan kiri Andre.

“Ngantri, nyet.” Jawaban si pria seraya mentoyor dahi lawan bicara.

Kemudian Setya—Ayah Junita muncul dari belakang badan anak gadisnya. Andre yang melihat Setya langsung membungkukkan badan tergesa-gesa untuk menyalami.

“Papa di Singapura gimana kabarnya, Dre?” tanya Setya sembari menepuk-nepuk punggung Andre.

“Alhamdulillah, sehat, Om.”

“Yaudah masuk gih, jangan sampe larut banget, ya. Nanti Om suruh Haru temenin.”

“Iya, Om. Cuma mau ngerjain tugas kok, hehe.” Ujar Andre yang sudah pasti berbohong.

Setelah Setya masuk, kedua remaja itupun mengikut masuk kedalam rumah. Andre menaruh plastik berisikan berbagai macam jajanan keatas meja lalu membanting tubuhnya di sofa.

“BANG ANDRE!!!” teriak Haru sembari berlari menuruni tangga.

“YOIT! GAS MABAR!” jawab Andre dengan berteriak juga

“Gak ada mabar-mabar, orang Andre mau ngobrol sama Kakak.” Junita menyela.

“Yaelah ngobrol apaan sih? Kan kalian di sekolah juga udah ngobrol mulu. Heran.”

“Tau nih, Kakak lo ngefans banget kayaknya sama gue, Ru.”

“MAAF JAVAS-KU LEBIH MENARIK.”

“Halu terosss sampe mamposss.” Timpal Haru pedas.

“Lo maen solo dulu dah, entar gue nyusul.”

“Oh, oke.”

Junita dan Andre beralih duduk di sofa belakang Haru yang sibuk memainkan konsol game didepan televisi.

Andre meneguk kaleng sodanya, “mau ngomong apa sih?” lalu menatap kedua manik mata Junita.

“Jadi gini, sekarang tanggal 12 kan?”

“Iya, terus?”

“Tanggal 14 itu hari ulang tahunnya Javas, diem dulu jangan komentar!” Junita membuat mulut Andre yang sudah terbuka itu menjadi merapat kembali.

“Iya, lanjut.”

“Lo mau nemenin gue ke Bogor Kota gak? Mau beli posternya. Mau, ya?”

“Di online gak ada? Kayak hidup di zaman batu aja.”

Junita menghembuskan nafas, “gak mau, takutnya itu fotokopian.”

“Iya gue anterin.”

“BENERAN?!” teriak Junita hingga Haru pun ikut terkejut.

“Woy udah malem jangan teriak,”

“Tapi beneran, kan?” kini Junita berbisik.

“Iya, Juni.”

Ditengah keasyikan dua anak muda itu. Setya menghampiri mereka dengan wajah yang terlihat... menyeramkan.

“Loh nggak jadi ngerjain tugas?” tanya sang Ayah dengan nada bicara yang menyudutkan.

“OWALAH IYA LUPA, YAH. GUE AMBIL BUKU DULU YA, DRE.”

Andre tersenyum canggung lalu mengangguk, “tadi ngobrol dulu, Om, hehehe.”

Setya mendudukkan tubuhnya di sofa, seolah ingin mengontrol anak-anaknya. Melihat sang Ayah yang duduk memperhatikan Haru bermain game itupun Junita melipat bibirnya kedalam.

“Anjing, senjata makan tuan.” Gerutu batinnya.


written by © bblueplanet