Rasa

Harun membelokkan setirnya ke kanan, padahal arah rumah Anna ke kiri, membuat gadis itu menepuk-nepuk bahu lelaki yang memboncengnya.

“Mau kemana?”

“Kan gue udah bilang, gue mau ngomong,”

“Nanti Papa nyariin,”

“Gue udah izin, bawel.”

Anna tidak menjawab lagi. Seperti biasa, mereka sama-sama terdiam. Harun memperhatikan pantulan wajah Anna di kaca spion, batinnya reflek berkata 'cantik'

“Mau ke air mancur apa Sempur?” Tanya Harun dengan sedikit menggerakkan lehernya ke belakang.

“Sempur aja.”

“Oke.”

Kemudian beberapa menit setelah itu, Harun memberhentikan motornya di depan Taman Sempur. Mungkin karena suasana sore yang cukup mendung dan masuk musim penghujan, hawa Kota Bogor sekarang menjadi lebih dingin.

“Capek, mau duduk.” Anna merengek dengan wajahnya yang memang lelah karena baru pulang sekolah.

“Sini,” sembari melambaikan tangan, Harun juga menepuk kursi di sebelahnya.

“Kamu mau ngomong apa, sih?”

Tak menjawab, Harun malah merogoh kantong jaketnya. “Nih,” laki-laki itu menyodorkan sebuah gantungan kunci pada Anna.

“Buat aku?”

“Nggak, buat mamang basreng noh.” Anna melongo, “ya buat elo lah.”

“Lucu, kamu beli dimana?”

“Gak ada yang jual, gue bikin sendiri.”

“Bohong.”

Sebuah gantungan kunci rajut yang berbentuk matahari. Tidak mungkin Harun yang membuatnya, kan? batin Anna.

“Terserah percaya apa nggak.”

“Iya, deh. Terus kamu mau ngomong apa?”

“Mungkin lo bosen dengernya, tapi gue ngajak lo kesini karena gue mau minta maaf yang serius. Waktu itu kan minta maafnya gak jelas.”

“Kan aku udah maafin kamu,”

“Iya, gue tau, cuma gue belum puas aja, masih ngerasa bersalah.”

Lalu Harun membenarkan posisi duduknya dan sedikit memiringkan badan agar dapat lebih jelas menatap Anna. Hingga Anna tidak sadar kalau telapak tangannya berada di dalam genggaman kedua tangan Harun.

“Minta maaf...”

“Udah, aku udah ngelupain semuanya,”

“Padahal lo benci gue juga gak apa-apa. Gue jahat, gue sering ganggu lo semata-mata buat hiburan. Gue selalu nyinggung orang tua lo seolah-olah gue punya orang tua yang sempurna. Di kenyataannya ternyata lo punya Papa yang luar biasa sempurna. Gue malu.”

Melihat kedua manik mata Harun yang sudah memerah itu Anna tidak tega. Ia mengelus punggung tangan Harun bermaksud untuk menenangkannya.

“Gak apa-apa, wajar kok kalo manusia salah, dan manusia juga pasti bisa berubah. Aku tau kamu orang baik.”

Lelaki yang menunduk itu akhirnya mengangkat kepalanya. Sepasang netra yang saling menatap dan seakan mengirimkan sinyal secara tidak sengaja.

“Udah? Cuma mau ngomong ini aja?”

Harun terdiam sekejap, “iya,” jawabannya terlihat ragu, seperti ada lagi yang mau ia bicarakan tetapi ia tahan.

“Kenapa lo harus baik banget, Anna? Kenapa lo nggak benci gue aja? Apa lo sengaja mau bikin gue malu, karena gue sekarang... punya rasa.” Ungkap batin Harun.

Dan jauh di dalam hati Anna juga berbicara, “Apa aku yang terlalu berharap kamu punya rasa yang sama?”

Mengapa harus malu untuk mengungkapkan? Padahal perasaan kalian tidak bertepuk sebelah tangan.


© Jupiter Lee