bblueplanet

“Kalo Kakak capek, tolong ngeluh ke aku, ya, Kak? Aku bakal selalu jadi rumah buat Kakak pulang.”


Malam itu bau debu menyeruak masuk ke rongga hidung seorang gadis yang sedang melamun di depan jendela kamar yang sengaja ia biarkan terbuka. Hujan mendadak turun. Ia menoleh, melihat kedua buah hatinya yang sudah tertidur. Kini Jasmine hanya menunggu sang suami pulang.

Seperti yang dirinya tahu, Azzam sejak kemarin sore tak banyak bicara, lebih tepatnya saat laki-laki itu memergoki Jasmine yang sedang mengobrol dengan tetangga baru, padahal tetangga itu sudah beristri, dan mereka pun hanya menegur saja, tidak lebih. Mungkin karena rupa si tetangga baru itu cukup tampan, Azzam menjadi khawatir.

Jasmine mengetuk-mengetuk kaca yang berembun itu dengan kukunya, badannya seketika langsung berdiri dengan semangat kala melihat gerbang terbuka, menampakkan mobil putih Azzam yang masuk ke dalam garasi.

Dia pun bercermin, memastikan penampilannya sudah cukup cantik untuk bertemu dengan prianya. Akan tetapi, saat Jasmine memutar kenop pintu, ia melihat Azzam langsung beranjak naik ke lantai dua. Raut wajahnya sedang kusut.

Perlahan Jasmine menyusul, mengintip Azzam yang sedang menjambak frustasi rambutnya sendiri. Membuat semburat rasa cemas muncul di dadanya.

“Kak?”

Mendengar suara Jasmine, pria itu langsung merubah ekspresi wajahnya dari semula yang kusut, menjadi biasa saja. Tidak ada senyum tetapi tidak cemberut juga. Datar.

“Aku boleh masuk, 'kan?”

“Ya.”

Karena merasa diizinkan, gadis itu masuk dengan berlari kecil, menghampiri Azzam yang tak menatapnya sama sekali.

“Marah, ya, sama aku?” ia memanyunkan bibir layaknya anak kecil yang sedang merajuk.

“Nggak.” Balas Azzam dingin. Jasmine ingin membeku saja rasanya. Suasana rumah sejak kemarin sore benar-benar seperti di Kutub.

“Terus, kenapa nggak ke kamar dulu tadi pas pulang?”

“Saya kira kamu udah tidur, jadinya saya gak mau bikin kamu kebangun, apalagi Abizar sama Shereen nggak bisa ngedenger suara sedikit langsung bangun, 'kan?”

Jasmine menggaruk pelipisnya, “iya, sih... tapi dari kemarin Kakak kenapa diem terus?”

“Nggak apa-apa. Saya cuma lagi banyak kerjaan. Naskah terjemahan saya juga belum selesai, lusa harus udah di kasih ke sana.”

“Makan dulu, Kak, nanti baru lanjut lagi. Mau aku bikinin teh nggak?”

Azzam menggeleng, lantas menjauh dari Jasmine dan mendekati meja kerjanya. Ia seolah mengabaikan gadis yang berada di dalam kamar itu.

Hati Jasmine seakan tersayat, karena tak biasanya Azzam bersikap masa bodoh seperti ini. Apakah ia baru saja melakukan kesalahan besar? Apakah Azzam hanya lelah saja?

“Kak bisa bantu aku lepasin kalung nggak?” tanya Jasmine tiba-tiba.

Meskipun tidak menolak dan tidak mengiyakan, Azzam bangkit dari kursinya, kembali menuju Jasmine yang sedang terduduk di atas kasur.

Dengan gerakan cepat Azzam membuka kalung Jasmine yang sebenarnya tak ingin gadis itu buka, hanya alibi agar Azzam mendekatinya saja. Dan sesaat sebelum pria itu beranjak, Jasmine memeluk erat punggungnya, membuat Azzam mau tak mau kembali terduduk memunggungi gadisnya.

“Jasmine saya masih banyak kerjaan,”

“Rehat dulu, Kak, jangan terlalu di forsir, nanti ujung-ujungnya malah sakit. Telat sehari emang gak boleh? Kan Kakak selama ini jadi karyawan yang rajin.”

“Iya. Tapi mood saya lagi kurang bagus. Maaf, ya, tolong lepas dulu.”

“Nggak.” Semakin Azzam menolak, semakin Jasmine memeluknya erat.


image


“Kakak kalo marah sama aku bilang aja, marah aja, jangan diem kayak gini.”

“Saya lagi capek aja,” lelaki itu pasrah, membiarkan Jasmine bertengger di punggungnya.

“Aku, 'kan udah bilang, Kak, kalo Kakak capek istirahat, jangan paksa buat kerjain semuanya sekaligus. Kakak kalo aku bilangin kan nggak mau denger, aku bilang jangan cuci baju tetep cuci juga, aku bilang jangan ngepel tetep ngepel juga. Aku tau Kakak mau bantu aku, tapi Kakak juga kan punya kerjaan, Kakak juga kan capek. Kita itu menikah karena mau sama-sama, kan? Kita capeknya sama-sama. Ngurus rumah sama-sama, ngurus Abizar sama Shereen sama-sama, Kakak nggak akan pernah bisa lakuin itu sendiri. Kita itu saling membutuhkan, Kak...”

Ya. Katakanlah Azzam itu terlalu peduli hingga ia tak ingin melihat Jasmine lelah sedikitpun. Tetapi jika terus begitu pasti ia juga yang akan ambruk.

Jasmine tahu betul prianya itu bukanlah seorang konglomerat atau bos yang hanya goyang-goyang kaki tetapi menghasilkan banyak uang. Azzam ada laki-laki pekerja keras, pekerjaannya menguras tenaga, pikiran dan juga kesabaran. Karena selain menjadi guru di berbagai tempat, lalu menjadi imam di berbagai Masjid, kini ia merangkak menjadi translator bahasa Arab.

Akhirnya Azzam membalikkan tubuhnya agar menghadap pada Jasmine. Ia menunjukkan senyumnya. Senyum yang palsu.

Dengan menatap lekat kedua netra lawan bicaranya, Jasmine dapat mengetahui isi hatinya. Lantas gadis itu memegang rahang tegas pria itu seraya mengatakan, “Kakak nggak baik-baik aja.”

Runtuh sudah benteng pertahanan Azzam. Sudut matanya berair. Hingga saat Jasmine menarik tubuhnya, lelaki itu terjatuh ke dalam pelukan hangat yang selalu menjadi candu baginya.

“It's okay to not be okay, Kak...”

“Maaf... maaf saya jadi keliatan payah di depan kamu,”

“Aku nggak pernah nuntut Kakak buat selalu keliatan kuat. Sesekali nangis nggak apa-apa kok.”

“Kemarin, saya cemburu. Saya cemburu sama cara tetangga baru itu natap kamu, jelas banget dia suka sama kamu.”

“Dia udah beristri, Kak, mana mungkin suka sama aku?”

“Itu bisa aja terjadi, apalagi kamu cantik. Saya juga laki-laki, saya tau makna tersirat dari tatapannya itu, saya nggak suka...”

Jasmine mengelus kepala Azzam layaknya mengelus kepala bayi, menyalurkan rasa nyaman untuknya. Entahlah mengapa suaminya itu begitu menggemaskan kala cemburu. Dia duduk dengan tegap, sembari menatap kedua bola mata Jasmine yang berbinar, mata Azzam kian berbinar demikian.

“Mau apa, Kak? Istirahat dulu yuk? Aku tadi bikin brownies, sekalian aku bikinin teh madu ya?”

“Brownies?” raut masam pria itu sirna, berganti dengan wajah sumringah. Ini semua karena Azzam mendengar kata *'brownies'. Iya, dia begitu menyukai brownies, terlebih lagi brownies buatan Umi. Tetapi kini posisi Umi hampir tergeser dengan brownies buatan Jasmine yang tak kalah enaknya.

“Iyaaa, makanya jangan cemberut terus. Mau gak?”

Sedetik kemudian Azzam menghujani wajah Jasmine dengan kecupan-kecupan ringan sebagai tanda terimakasih.

“Makasih, ya. Aku sayang banget sama kamu.”

“KAK?! COBA ULANG?!”

“Aku sayang banget sama kamu.”


Malam yang dingin itu masih ada dua insan yang belum tertidur. Mereka berdua bersembunyi di balik selimut dengan Azzam yang masih mengerjakan tugasnya—ditemani Jasmine dan beberapa potong brownies sisa tadi.

Kedinginan di kala hujan itu tidak terasa karena hanya bersama Jasmine saja tubuh dah hatinya menghangat seketika.

Hingga pukul 1 malam, semua sisa tugas Azzam berhasil ia selesaikan dengan mudah. Coba saja jika Jasmine tak mengajaknya untuk berbaikan, sudah pasti ia akan mengerjakan tugas sendirian, tidak bersemangat dan juga mungkin tugasnya itu tidak akan usai malam ini.

Seperti biasa, sebelum tidur mereka akan saling memberikan salam pengantar tidur bergantian.

“Terimakasih karena sudah bekerja keras, ya, Kak?”

“Terimakasih juga karena kamu selalu ada di samping saya, Jasmine. Semoga akan terus begini, sampai hari tua nanti, ya?”


© Jupiter Lee

⚠ WARNING ⚠ Mengandung (sedikit) muatan dewasa, bagi pembaca yang belum cukup umur atau tidak nyaman dengan konten tersebut dianjurkan untuk tidak membacanya. Diharapkan kebijaksanaan dan kesadaran pembaca.


Azzam menjalankan mobilnya dengan kecepatan yang lebih cepat dari biasanya. Hari ini begitu melelahkan, ingin rasanya Azzam cepat tiba di rumah, ingin melihat Jasmine dan kedua anaknya. Ketiga orang itu adalah pelipur lara Azzam di kala ia merasakan hari-hari yang sulit.

Usai tiba di rumah, ia tak langsung masuk ke dalam kamar, melainkan terlebih dahulu mandi dan mengganti pakaiannya.

Mendengar suara air, Jasmine menyadari bahwa lelakinya itu sudah pulang. Gadis itu melirik pantulan wajahnya di cermin, dengan bertanya-tanya di dalam hatinya sendiri, ‘udah cantik belum, ya?’. Lantas ia pelan-pelan membuka pintu kamar, tak ingin menciptakan suara apapun agar Abizar dan Shereen tidak bangun.

Jauh di sana ia melihat sosok Azzam yang berdiri di depan pintu kamar mandi sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk. Ia mengenakan kaos hitam polos dan calana bahan selutut, rambut Azzam belum sepenuhnya mengering. Jasmine memperhatikan lelaki itu dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.

Tampan. Selalu tampan.

image

“Kak.” Panggil Jasmine seraya mendekati pria itu dan mencium punggung tangannya.

“Eh, kirain udah tidur,”

“Nungguin Kakak, hehe.”

“Tumben. Kangen, ya?”

“Iya.” Cebik Jasmine manja. “Dua bulan ini udah jaraaaaang banget peluk, apalagi cium.”

Melihat tingkah gadisnya itu Azzam tersenyum, “tunggu di sini.”

“Mau kemana?”

“Mau ketemu si kembar, sekalian izin mau pinjem Bunda nya dulu.”


Jasmine menoleh sewaktu mendengar suara pintu yang tertutup, menampakkan Azzam yang berdiri tegap di sana dengan merentangkan kedua tangannya. “Di izinin katanya. Sini, peluk.”

Entah mengapa Azzam begitu menggemaskan saat ini, hingga Jasmine tersihir dan langsung menghampiri lelaki itu serta jatuh ke dalam dekapannya.

Pelukan hangat yang selalu di rindukan. Dalam dua bulan ini mereka sulit untuk memiliki waktu berdua yang lama lantaran kedua anak mereka sangat mudah menangis. Bahkan tertidur pun sudah tak lagi saling memeluk. Bercumbu juga dapat dihitung dengan jari.

Maka dari itu, kesempatan ini tak Jasmine sia-siakan untuk tertidur.

Ia menyamankan posisinya di dalam rengkuhan Azzam. Mereka sama-sama terdiam, keheningan yang hanya dihiasi dengan suara detak jantung yang saling sahut-menyahut.

“Kangen banget kayak gini...” gumam Jasmine.

“Iya, saya juga.” Azzam mundur tanpa melepas pelukannya, membuat punggung lelaki itu bersandar pada tembok. “Ngomong-ngomong kamu beneran enggak keberatan, 'kan, kalo saya terima tawaran jadi penerjemah?”

Jasmine menggeleng yakin, “enggak, aku malah seneng sekaligus bangga sama Kakak.”

“Oh, ya—itu...”

“Apa?”

“Hadiah saya? Mana?”

Mendengar pertanyaan Azzam barusan, Jasmine melonggarkan lingkar tangannya di pinggang lelaki itu. “Tutup mata, Kak.”

Menurut. Azzam menutup kedua matanya dan seketika merasakan sesuatu menyentuh bibirnya. Ia pun membuka mata sejenak, melihat Jasmine yang kesulitan karena harus berjinjit untuk menciumnya.

Akhirnya lelaki itu merendahkan kepalanya, memberi akses mudah pada Jasmine agar ia tak harus berjinjit.

Kemudian saat Jasmine hendak menyudahi aksinya, Azzam justru menahan tengkuk leher gadis itu, semakin memperdalam ciuman mereka. Lumatan yang halus tapi menuntut. Bahkan kini Azzam membalikkan posisi Jasmine menjadi gadis itu yang bersandar pada tembok.

“Kak—mmhh,

Seperti mengabaikan suara sang gadis, Azzam turun untuk mengecup pundak gadisnya, menghirup aroma parfum yang Jasmine pakai. Lalu kembali menyambar bibir ranum gadis di depannya.

Jasmine kewalahan.

Ia terpaksa mendorong kuat bahu lelaki itu agar menjauh. “Bentar, Kak, bentar...” nafas Jasmine berantakan.

Sedangkan Azzam menatap Jasmine dengan kedua matanya yang berkabut, “nanti keburu mereka bangun.”

“Enggak, mereka pules kok, soalnya dari tadi siang enggak tidur.”

Pria itu beralih untuk menyandarkan kepalanya di bahu sang gadis, “maaf, ya... saya jadi payah gini.”

Jasmine mengerti perasaan pria nya itu. Kedua tangannya turun-naik untuk mengusap punggung Azzam dan tanpa Jasmine sadari bahwa Azzam juga telah meloloskan tangannya masuk ke dalam piyama yang ia kenakan—mengelus punggung gadis itu.

“Kayaknya tadi saya mandi, tapi kenapa badan saya panas, ya? Apa AC-nya gak berfungsi?” Suara berat nan parau Azzam yang masih bertengger di bahunya itu seketika membuat bulu kuduk Jasmine berdiri.

“Kakak mau apa?”

Azzam menegakkan tubuhnya, ia memperhatikan wajah sang gadis lamat-lamat, membuat yang ditatap itu malu setengah mati. Perlahan jemari Azzam naik untuk mengusap rahang Jasmine, dan mengusap bibir gadis itu dengan ibu jarinya. “Mau ini aja.”

“Selama Abizar sama Shereen tidur, malam ini aku punya Kakak.” Ujar si gadis dengan nada yang meyakinkan.

Cup.

“Udah. Saya enggak akan minta lebih dari ini. Makasih, ya, Jasmine.”

Wanita itu tahu bahwa Azzam menahan hasratnya. Namun, bagaimanapun Jasmine juga lelah dan ingin cepat-cepat berbaring.

“Tidur, ya? Istirahat. Besok habis subuh kita ngaji bareng lagi.”

Dan malam ini berakhir dengan Jasmine yang tertidur di kasur sebelah kanan dan Azzam yang tertidur di kasur sebelah kiri, di tengah-tengah mereka terdapat si kembar yang tertidur pulas. Akan tetapi Azzam meraih tangan Jasmine dan menggenggam tangan perempuannya itu sampai waktu fajar datang.


© Jupiter Lee

⚠ WARNING ⚠ Mengandung (sedikit) muatan dewasa, bagi pembaca yang belum cukup umur atau tidak nyaman dengan konten tersebut dianjurkan untuk tidak membacanya. Diharapkan kebijaksanaan dan kesadaran pembaca.


Azzam menjalankan mobilnya dengan kecepatan yang lebih cepat dari biasanya. Hari ini begitu melelahkan, ingin rasanya Azzam cepat tiba di rumah, ingin melihat Jasmine dan kedua anaknya. Ketiga orang itu adalah pelipur lara Azzam di kala ia merasakan hari-hari yang sulit.

Usai tiba di rumah, ia tak langsung masuk ke dalam kamar, melainkan terlebih dahulu mandi dan mengganti pakaiannya.

Mendengar suara air, Jasmine menyadari bahwa lelakinya itu sudah pulang. Gadis itu melirik pantulan wajahnya di cermin, dengan bertanya-tanya di dalam hatinya sendiri, ‘udah cantik belum, ya?’. Lantas ia pelan-pelan membuka pintu kamar, tak ingin menciptakan suara apapun agar Abizar dan Shereen tidak bangun.

Jauh di sana ia melihat sosok Azzam yang berdiri di depan pintu kamar mandi sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk. Ia mengenakan kaos hitam polos dan calana bahan selutut, rambut Azzam belum sepenuhnya mengering. Jasmine memperhatikan lelaki itu dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.

Tampan. Selalu tampan.

image

“Kak.” Panggil Jasmine seraya mendekati pria itu dan mencium punggung tangannya.

“Eh, kirain udah tidur,”

“Nungguin Kakak, hehe.”

“Tumben. Kangen, ya?”

“Iya.” Cebik Jasmine manja. “Dua bulan ini udah jaraaaaang banget peluk, apalagi cium.”

Melihat tingkah gadisnya itu Azzam tersenyum, “tunggu di sini.”

“Mau kemana?”

“Mau ketemu si kembar, sekalian izin mau pinjem Bunda nya dulu.”


Jasmine menoleh sewaktu mendengar suara pintu yang tertutup, menampakkan Azzam yang berdiri tegap di sana dengan merentangkan kedua tangannya. “Di izinin katanya. Sini, peluk.”

Entah mengapa Azzam begitu menggemaskan saat ini, hingga Jasmine tersihir dan langsung menghampiri lelaki itu serta jatuh ke dalam dekapannya.

Pelukan hangat yang selalu di rindukan. Dalam dua bulan ini mereka sulit untuk memiliki waktu berdua yang lama lantaran kedua anak mereka sangat mudah menangis. Bahkan tertidur pun sudah tak lagi saling memeluk. Bercumbu juga dapat dihitung dengan jari.

Maka dari itu, kesempatan ini tak Jasmine sia-siakan untuk tertidur.

Ia menyamankan posisinya di dalam rengkuhan Azzam. Mereka sama-sama terdiam, keheningan yang hanya dihiasi dengan suara detak jantung yang saling sahut-menyahut.

“Kangen banget kayak gini...” gumam Jasmine.

“Iya, saya juga.” Azzam mundur tanpa melepas pelukannya, membuat punggung lelaki itu bersandar pada tembok. “Ngomong-ngomong kamu beneran enggak keberatan, 'kan, kalo saya terima tawaran jadi penerjemah?”

Jasmine menggeleng yakin, “enggak, aku malah seneng sekaligus bangga sama Kakak.”

“Oh, ya—itu...”

“Apa?”

“Hadiah saya? Mana?”

Mendengar pertanyaan Azzam barusan, Jasmine melonggarkan lingkar tangannya di pinggang lelaki itu. “Tutup mata, Kak.”

Menurut. Azzam menutup kedua matanya dan seketika merasakan sesuatu menyentuh bibirnya. Ia pun membuka mata sejenak, melihat Jasmine yang kesulitan karena harus berjinjit untuk menciumnya.

Akhirnya lelaki itu merendahkan kepalanya, memberi akses mudah pada Jasmine agar ia tak harus berjinjit.

Kemudian saat Jasmine hendak menyudahi aksinya, Azzam justru menahan tengkuk leher gadis itu, semakin memperdalam ciuman mereka. Lumatan yang halus tapi menuntut. Bahkan kini Azzam membalikkan posisi Jasmine menjadi gadis itu yang bersandar pada tembok.

“Kak—mmhh,

Seperti mengabaikan suara sang gadis, Azzam turun untuk mengecup pundak gadisnya, menghirup aroma parfum yang Jasmine pakai. Lalu kembali menyambar bibir ranum gadis di depannya.

Jasmine kewalahan.

Ia terpaksa mendorong kuat bahu lelaki itu agar menjauh. “Bentar, Kak, bentar...” nafas Jasmine berantakan.

Sedangkan Azzam menatap Jasmine dengan kedua matanya yang berkabut, “nanti keburu mereka bangun.”

“Enggak, mereka pules kok, soalnya dari tadi siang enggak tidur.”

Pria itu beralih untuk menyandarkan kepalanya di bahu sang gadis, “maaf, ya... saya jadi payah gini.”

Jasmine mengerti perasaan pria nya itu. Kedua tangannya turun-naik untuk mengusap punggung Azzam dan tanpa Jasmine sadari bahwa Azzam juga telah meloloskan tangannya masuk ke dalam piyama yang ia kenakan—mengelus punggung gadis itu.

“Kayaknya tadi saya mandi, tapi kenapa badan saya panas, ya? Apa AC-nya gak berfungsi?” Suara berat nan parau Azzam yang masih bertengger di bahunya itu seketika membuat bulu kuduk Jasmine berdiri.

“Kakak mau apa?”

Azzam menegakkan tubuhnya, ia memperhatikan wajah sang gadis lamat-lamat, membuat yang ditatap itu malu setengah mati. Perlahan jemari Azzam naik untuk mengusap rahang Jasmine, dan mengusap bibir gadis itu dengan ibu jarinya. “Mau ini aja.”

“Selama Abizar sama Shereen tidur, malam ini aku punya Kakak.” Ujar si gadis dengan nada yang meyakinkan.

Cup.

“Udah. Saya enggak akan minta lebih dari ini. Makasih, ya, Jasmine.”

Wanita itu tahu bahwa Azzam menahan hasratnya. Namun, bagaimanapun Jasmine juga lelah dan ingin cepat-cepat berbaring.

“Tidur, ya? Istirahat. Besok habis subuh kita ngaji bareng lagi.”

Dan malam ini berakhir dengan Jasmine yang tertidur di kasur sebelah kanan dan Azzam yang tertidur di kasur sebelah kiri, di tengah-tengah mereka terdapat si kembar yang tertidur pulas. Akan tetapi Azzam meraih tangan Jasmine dan menggenggam tangan perempuannya itu sampai waktu fajar datang.


© Jupiter Lee

#Pacaran

image


[ POV JASMINE ]


Matahari perlahan bergerak turun ke Barat, menandakan waktu kian menyore. Aku membuka Jendela kamar, menampakkan sang langit yang temaram, padahal tadi siang cerah menyengat.

Terlalu lama memandangi atap bumi itu, bahuku di tepuk lembut dari belakang. “Jasmine? Ngeliatin apa?” tanya seseorang yang menepuk bahuku.

Aku menoleh, tak langsung menjawab melainkan memandang kagum padanya. Tampan. Hanya itu yang terlintas di kepalaku saat melihat wajahnya. “Eh, nggak, cuma langitnya agak mendung gitu, Kak.”

Kemudian lelaki itu ikut melihat ke arah jendela, “iya, ya, yang penting nggak hujan.” Katanya.

“Kalo nanti hujan?”

“Kita hujan-hujanan.”

Pria bernetra hitam itu selalu saja mempunyai jawaban akan pertanyaan-pertanyaanku. “Baru sembuh juga,” aku menyikut lengannya pelan.

“Yaudah, ayo.”


Kami mengitari Kota Bogor menggunakan motor. Sesuai dengan permintaannya, aku ikut saja.

Sesekali mataku terpejam menikmati terpaan angin yang menyapu setiap sudut wajahku, sembari aku memeluk punggung hangatnya. Ia membuka suara, “dingin nggak?” aku hanya menggeleng, kemudian meletakkan dagu di atas pundaknya.

“Lebih enak naik motor, 'kan?”

“Iya, bisa peluk Kakak, hehehe.”

Tak lama ia memarkirkan motornya di tepi danau yang aku inginkan. Sangat indah. Disini tempatku pertama kali dengan Deka, meskipun sekarang hanyalah kenangan, aku sudah berhasil melupakan.

“Cantik, ya...” gumamnya.

Aku menoleh, “danau di sini emang can—”

“Kamu. Cantik yang saya maksud itu kamu.” Selanya cepat, bahkan sebelum bibirku tertutup rapat.

Semburat merah menggerayangi kedua belah pipiku. Panas. Rasanya seperti ingin berteriak saja. “Apa, sih? Ngerdus mulu.” Gerutu sebal dariku itu hanya ditanggapi dengan sebuah usapan hangat di punggung.

“Dari kemarin marah-marah terus, saya nyebelin, ya?”

“Iya! Itu tau!”

Ia hanya tertawa. Tawanya yang selalu membuat hatiku lemah seketika.

“Kakak mau ngapain sebenernya? Tiba-tiba banget ngajak keluar kayak gini?”

Tidak langsung menjawab, ia menggeser tubuhnya menjadi tepat di belakangku. Aku merasakan lengannya bergerak untuk melingkar di atas perutku. Geli. Karena aku mendengarkan hembusan nafasnya.

“Kak...”

“Saya nggak pernah pacaran, jadi saya mau tau rasanya pacaran. Yang halal.”

Aku hanya berdiam diri, membiarkan ia nyaman dalam posisinya. Entah sampai kapan pria itu akan bertengger di pundakku. Kami sama-sama membisu. Hening, hanya diisi suara angin yang bertabrakan dengan dedaunan serta gemercik air pancuran.

“Udah, ah, pelukan mulu kaya teletubbies,” cebikku berusaha melepaskan tangan kekar yang masih setia melingkar itu.

Ia mengalah. Melepaskan pelukannya dan membawa tubuhku untuk berhadapan dengannya. Sontak kedua mataku membulat sempurna usai melihat betapa indahnya makhluk Allah yang kini menatapku juga.

Azzam dengan kulit putihnya, bibir merah muda cerah, sepasang mata yang cantik, ditambah dengan rambutnya yang sedikit terangkat karena terkena angin membuat ia semakin indah. Terkadang aku sendiri masih gugup untuk menatapnya.

“Kenapa merah gitu mukanya?”

“Hah? Ng-nggak tuh.” Aku berusaha menunduk untuk menyembunyikan wajahku yang sudah seperti kepiting rebus.

Tetapi Azzam justru menarik dagu ku seraya berkata, “humairah-nya Azzam.

Jelas aku tidak mengerti hingga aku hanya mengernyitkan dahi, “maksudnya?”

Humairah itu panggilan sayang dari Rasulullah buat Aisyah. Artinya yang berkulit kemerah-merahan. Karena Aisyah itu pipi nya merah, jadinya Rasulullah panggil Humairah.

“Emang pipi aku merah?”

“Iya, lucu, saya cium boleh nggak?”


© Jupiter Lee

Seperti biasa, jangan lupa untuk menyetel lagu rekomendasinya:')

Selama di perjalanan menuju rumah, Azzam terus-terusan menunduk, beberapa kali Pak Yayan memanggilnya namun lelaki itu seperti tidak mendengar.

Sampai di rumah, Azzam melihat Tito yang tertidur di kursi teras rumahnya.

“Akhirnya pulang juga.” Tito terbangun karena mendengar suara gerbang dibuka.

“Kamu daritadi disini?”

“Ya iya, orang nggak dibukain pintu,” keluh Tito sembari memakai jaketnya. “Gue mau pulang, Bang.”

“Makasih, ya, kamu udah mau ngejagain.”

“Jasmine juga masih Kakak gue, jadi gue ikhlas kok jagainnya, walaupun agak kesel dikit.”

“Udah larut, hati-hati pulangnya jangan ngebut.”

Tito mengangguk, “iya, semoga masalah sama Kakak gue cepet selesai, ya.”


Kondisi rumah begitu hening, terdengar suara Jasmine yang sedang menyinsring hingusnya. Beruntung Azzam dapat masuk ke rumah karena mempunyai kunci cadangan. Ia pun pelan-pelan membuka pintu kamar yang ternyata tidak terkunci itu.

Mata Azzam terbelalak kala melihat Jasmine duduk di sudut kamar dengan kondisi yang kacau dan terdapat puntungan rokok di lantai. Sesegera mungkin Azzam meraih sebatang rokok yang hendak Jasmine hisap lagi. Lelaki itu langsung mengepal rokok Jasmine hingga apinya padam.

“Kamu beneran nekat?!” Azzam berlutut di depan Jasmine dengan mengguncang bahu gadis itu.

“Jasmine, jawab saya.”

“Kan bisa liat sendiri.” Ketus Jasmine.

Azzam mengusap wajahnya kasar, ” Ya Allah... kenapa kamu kayak gini? Kamu boleh kecewa sama saya tapi nggak kayak gini.”

Sejak awal Jasmine tak sedikitpun melihat Azzam, ia hanya menunduk dengan bahu yang naik turun.

“Gue nggak mau ketemu lo, pergi aja sana!”

Azzam merogoh kantong, mencari ponselnya. Ia membuka chat nya dengan Sarah, namun Jasmine enggan untuk melihat.

“Baca ini.”

Seolah menganggap Azzam sebagai angin lewat, Jasmine malah mau meraih rokoknya lagi.

Dengan sigap Azzam menepis tangannya. “Kamu mending pukul saya aja. Pukul saya, Jasmine!”

Menyadari telah berbicara tinggi pada Jasmine, Azzam langsung merengkuh tubuh gadis itu, masih dalam posisi yang sama-sama terduduk.

Jasmine memberontak tak ingin di peluk, tetapi semakin ia memberontak semakin erat pula Azzam memeluknya.

“Lepas!”

“Nggak. Saya marah. Saya beneran marah sama kamu.” Tutur Azzam dengan suaranya yang bergetar.

“Lepas, Kak...”

Lama kelamaan Jasmine pasrah dan diam di dalam pelukan Azzam.

“Maaf, maaf saya ngebentak kamu. Saya cuma nggak mau kamu nyentuh racun itu lagi, saya tau kamu marah, tapi kamu nggak boleh sampe berpikir buat ngerokok. Saya sedih kalo ngeliat kamu kayak gitu, saya ngerasa gagal, Jasmine...”

Jasmine tak menjawab sampai Azzam melanjutkan ucapannya.

“Saya juga sedih karena kamu nggak percaya sama saya. Padahal saya udah ceritain yang sejujurnya. Saya nggak pernah bohong sama kamu. Kamu bisa liat chat saya sama Sarah.”

“Aku... aku takut...”

Azzam melepaskan pelukan mereka, ia duduk bersandar dengan meluruskan kedua kaki. Kemudian ia membawa Jasmine duduk di atas pangkuannya. Membawa gadis itu untuk berhadapan dengan wajahnya.

“Liat saya.”

Jasmine menggeleng, “nggak mau.”

Terpaksa Azzam mengangkat wajah Jasmine, memaksa gadis itu untuk menatapnya. Seketika perasaan Jasmine terasa di cabik-cabik kala melihat raut wajah Azzam yang sedih, emosi, dan kecewa. Tak sanggup Jasmine untuk menatapnya lebih lama hingga ia lemas dan menyandarkan kepalanya di bahu Azzam.

Lelaki itu menghembuskan nafas dengan kasar, ia mendongakkan kepalanya yang masih bersandar pada tembok. Sementara Jasmine masih duduk di atas pangkuannya dan menangis terisak diceruk leher lelaki itu.

Azzam mengelus surai Jasmine, “udah nangisnya, ya? Maafin saya, saya minta maaf.”

“Aku kayak anak-anak banget, ya, Kak? Harusnya aku nggak cemburuan kayak gini, h-harusnya aku percaya sama Kakak, maaf... Maaf aku ngecewain...” Ucap gadis itu sembari sesenggukan.

“Saya seneng kamu cemburu, artinya kamu cinta sama saya. Tapi saya sedih karena kamu lebih percaya sama Sarah ketimbang kamu percaya sama saya.”

Jasmine memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya dan menatap Azzam yang posisinya lebih rendah darinya. Azzam pun kian mendongak ketika tangan gadis itu menyusuri rahang tegasnya.

“Maaf...” cicit Jasmine pelan.

“Asalkan kamu janji itu terakhir kamu ngerokok kayak tadi, saya nggak mau liat kamu nyentuh rokok lagi, ya?”

Dengan wajah melasnya Jasmine mengangguk, lalu perlahan ia menunduk, mendekatkan wajahnya, dan mendaratkan bibirnya di atas bibir pucat Azzam.


[ Pukul 02:20 Dini Hari ]

Jasmine tertidur di dalam dekapan Azzam. Tetapi ia terbangun karena merasakan hawa panas dari tubuh lelaki itu. Ia juga melihat Azzam tertidur dengan wajah yang gelisah.

“Kak...?”

Ia memegang dahi Azzam yang rupanya mengalami demam tinggi. Jasmine begitu panik dan berusaha melepas tangan Azzam yang melingkar di punggungnya.

“Jangan pergi...” racau Azzam dengan kedua matanya yang terpejam kuat.

“Kakak demam, aku ambilin air kompresan, ya?”

Azzam menggeleng pelan, “jangan pergi, Jasmine, saya bilang jangan pergi...”

“Aku nggak kemana-mana, aku cuma mau ke dapur, Kak.”

“Nggak mau.”

“T-tapi...”

Dengan susah payah Azzam membuka matanya yang merah dan berair, lalu tersenyum tipis pada Jasmine, “saya nggak apa-apa, cuma capek, nanti pagi saya sembuh. Kamu tidur aja...”

Mau tau mau Jasmine kembali ke dalam dekapan lelaki itu. Namun ia enggan untuk tertidur. Ia merasakan tubuh Azzam yang semakin panas, deru nafasnya berantakan, dan suara jantungnya begitu terdengar.

Hingga menjelang Adzan Subuh, lelaki itu tak juga bangun, tidak seperti pada hari-hari biasanya.

“Kak? Udah adzan,” Jasmine mengguncang tubuh Azzam.

Lagi, Azzam membuka kelopak matanya dengan kesulitan. “Saya shalat dirumah dulu,”

“Kakak kenapa? Apa yang lagi dirasa?”

“Saya mau shalat, bantu saya ganti baju ya.”

Jasmine membantu Azzam mengganti pakaiannya, lalu lelaki itu berwudhu dengan tayamum, dan duduk bersandar pada ranjang. Hati Jasmine kembali terenyuh melihat lemahnya Azzam, namun memaksakan diri untuk tetap menjalankan kewajibannya.

Jasmine malu. Sungguh. Apalagi saat ia mengingat ia merokok hanya karena pikirannya kacau, bukannya mendekat pada Allah, ia malah menjauhi Allah dan menganggap bahwa dunia tidak adil. Padahal, ia yang malas untuk beribadah.

Kemudian ia bergegas untuk shalat juga. Saat itu ia merakan ketenangan pada pikiran dan hatinya. Dan saat itu juga ia tahu, bahwa shalat dapat menenangkan jiwa nya.


“Kakak mau sarapan apa?”

Azzam tak menjawab.

“Kak... Jangan bikin aku khawatir, ke dokter aja ya?”

Mendengar suara nafas Azzam membuat Jasmine ingin menangis, pasalnya Azzam benar-benar demam. Dan Jasmine sangat merasa bersalah akan itu.

“Cepet sembuh, ya, Kak? Aku udah hafal juz 30, Kakak mau denger nggak?”

Dalam posisi mata yang tertutup itu Azzam tersenyum dan mengangguk.

“Iya, saya mau denger.”

“Sembuh dulu.”

“Saya bakal sembuh, tapi saya pinjem peluk kamu seharian ini, boleh? Saya kangen kamu... sampe sakit rasanya.”


© Jupiter Lee

Seperti biasa, jangan lupa untuk menyetel lagu rekomendasinya:')

Selama di perjalanan menuju rumah, Azzam terus-terusan menunduk, beberapa kali Pak Yayan memanggilnya namun lelaki itu seperti tidak mendengar.

Sampai di rumah, Azzam melihat Tito yang tertidur di kursi teras rumahnya.

“Akhirnya pulang juga.” Tito terbangun karena mendengar suara gerbang dibuka.

“Kamu daritadi disini?”

“Ya iya, orang nggak dibukain pintu,” keluh Tito sembari memakai jaketnya. “Gue mau pulang, Bang.”

“Makasih, ya, kamu udah mau ngejagain.”

“Jasmine juga masih Kakak gue, jadi gue ikhlas kok jagainnya, walaupun agak kesel dikit.”

“Udah larut, hati-hati pulangnya jangan ngebut.”

Tito mengangguk, “iya, semoga masalah sama Kakak gue cepet selesai, ya.”


Kondisi rumah begitu hening, terdengar suara Jasmine yang sedang menyinsring hingusnya. Beruntung Azzam dapat masuk ke rumah karena mempunyai kunci cadangan. Ia pun pelan-pelan membuka pintu kamar yang ternyata tidak terkunci itu.

Mata Azzam terbelalak kala melihat Jasmine duduk di sudut kamar dengan kondisi yang kacau dan terdapat puntungan rokok di lantai. Sesegera mungkin Azzam meraih sebatang rokok yang hendak Jasmine hisap lagi. Lelaki itu langsung mengepal rokok Jasmine hingga apinya padam.

“Kamu beneran nekat?!” Azzam berlutut di depan Jasmine dengan mengguncang bahu gadis itu.

“Jasmine, jawab saya.”

“Kan bisa liat sendiri.” Ketus Jasmine.

Azzam mengusap wajahnya kasar, ” Ya Allah... kenapa kamu kayak gini? Kamu boleh kecewa sama saya tapi nggak kayak gini.”

Sejak awal Jasmine tak sedikitpun melihat Azzam, ia hanya menunduk dengan bahu yang naik turun.

“Gue nggak mau ketemu lo, pergi aja sana!”

Azzam merogoh kantong, mencari ponselnya. Ia membuka chat nya dengan Sarah, namun Jasmine enggan untuk melihat.

“Baca ini.”

Seolah menganggap Azzam sebagai angin lewat, Jasmine malah mau meraih rokoknya lagi.

Dengan sigap Azzam menepis tangannya. “Kamu mending pukul saya aja. Pukul saya, Jasmine!”

Menyadari telah berbicara tinggi pada Jasmine, Azzam langsung merengkuh tubuh gadis itu, masih dalam posisi yang sama-sama terduduk.

Jasmine memberontak tak ingin di peluk, tetapi semakin ia memberontak semakin erat pula Azzam memeluknya.

“Lepas!”

“Nggak. Saya marah. Saya beneran marah sama kamu.” Tutur Azzam dengan suaranya yang bergetar.

“Lepas, Kak...”

Lama kelamaan Jasmine pasrah dan diam di dalam pelukan Azzam.

“Maaf, maaf saya ngebentak kamu. Saya cuma nggak mau kamu nyentuh racun itu lagi, saya tau kamu marah, tapi kamu nggak boleh sampe berpikir buat ngerokok. Saya sedih kalo ngeliat kamu kayak gitu, saya ngerasa gagal, Jasmine...”

Jasmine tak menjawab sampai Azzam melanjutkan ucapannya.

“Saya juga sedih karena kamu nggak percaya sama saya. Padahal saya udah ceritain yang sejujurnya. Saya nggak pernah bohong sama kamu. Kamu bisa liat chat saya sama Sarah.”

“Aku... aku takut...”

Azzam melepaskan pelukan mereka, ia duduk bersandar dengan meluruskan kedua kaki. Kemudian ia membawa Jasmine duduk di atas pangkuannya. Membawa gadis itu untuk berhadapan dengan wajahnya.

“Liat saya.”

Jasmine menggeleng, “nggak mau.”

Terpaksa Azzam mengangkat wajah Jasmine, memaksa gadis itu untuk menatapnya. Seketika perasaan Jasmine terasa di cabik-cabik kala melihat raut wajah Azzam yang sedih, emosi, dan kecewa. Tak sanggup Jasmine untuk menatapnya lebih lama hingga ia lemas dan menyandarkan kepalanya di bahu Azzam.

Lelaki itu menghembuskan nafas dengan kasar, ia mendongakkan kepalanya yang masih bersandar pada tembok. Sementara Jasmine masih duduk di atas pangkuannya dan menangis terisak diceruk leher lelaki itu.

Azzam mengelus surai Jasmine, “udah nangisnya, ya? Maafin saya, saya minta maaf.”

“Aku kayak anak-anak banget, ya, Kak? Harusnya aku nggak cemburuan kayak gini, h-harusnya aku percaya sama Kakak, maaf... Maaf aku ngecewain...” Ucap gadis itu sembari sesenggukan.

“Saya seneng kamu cemburu, artinya kamu cinta sama saya. Tapi saya sedih karena kamu lebih percaya sama Sarah ketimbang kamu percaya sama saya.”

Jasmine memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya dan menatap Azzam yang posisinya lebih rendah darinya. Azzam pun kian mendongak ketika tangan gadis itu menyusuri rahang tegasnya.

“Maaf...” cicit Jasmine pelan.

“Asalkan kamu janji itu terakhir kamu ngerokok kayak tadi, saya nggak mau liat kamu nyentuh rokok lagi, ya?”

Dengan wajah melasnya Jasmine mengangguk, lalu perlahan ia menunduk, mendekatkan wajahnya, dan mendaratkan bibirnya di atas bibir pucat Azzam.


[ Pukul 02:20 Dini Hari ]

Jasmine tertidur di dalam dekapan Azzam. Tetapi ia terbangun karena merasakan hawa panas dari tubuh lelaki itu. Ia juga melihat Azzam tertidur dengan wajah yang gelisah.

“Kak...?”

Ia memegang dahi Azzam yang rupanya mengalami demam tinggi. Jasmine begitu panik dan berusaha melepas tangan Azzam yang melingkar di punggungnya.

“Jangan pergi...” racau Azzam dengan kedua matanya yang terpejam kuat.

“Kakak demam, aku ambilin air kompresan, ya?”

Azzam menggeleng pelan, “jangan pergi, Jasmine, saya bilang jangan pergi...”

“Aku nggak kemana-mana, aku cuma mau ke dapur, Kak.”

“Nggak mau.”

“T-tapi...”

Dengan susah payah Azzam membuka matanya yang merah dan berair, lalu tersenyum tipis pada Jasmine, “saya nggak apa-apa, cuma capek, nanti pagi saya sembuh. Kamu tidur aja...”

Mau tau mau Jasmine kembali ke dalam dekapan lelaki itu. Namun ia enggan untuk tertidur. Ia merasakan tubuh Azzam yang semakin panas, deru nafasnya berantakan, dan suara jantungnya begitu terdengar.

Hingga menjelang Adzan Subuh, lelaki itu tak juga bangun, tidak seperti pada hari-hari biasanya.

“Kak? Udah adzan,” Jasmine mengguncang tubuh Azzam.

Lagi, Azzam membuka kelopak matanya dengan kesulitan. “Saya shalat dirumah dulu,”

“Kakak kenapa? Apa yang lagi dirasa?”

“Saya mau shalat, bantu saya ganti baju ya.”

Jasmine membantu Azzam mengganti pakaiannya, lalu lelaki itu berwudhu dengan tayamum, dan duduk bersandar pada ranjang. Hati Jasmine kembali terenyuh melihat lemahnya Azzam, namun memaksakan diri untuk tetap menjalankan kewajibannya.

Jasmine malu. Sungguh. Apalagi saat ia mengingat ia merokok hanya karena pikirannya kacau, bukannya mendekat pada Allah, ia malah menjauhi Allah dan menganggap bahwa dunia tidak adil. Padahal, ia yang malas untuk beribadah.

Kemudian ia bergegas untuk shalat juga. Saat itu ia merakan ketenangan pada pikiran dan hatinya. Dan saat itu juga ia tahu, bahwa shalat dapat menenangkan jiwa nya.


“Kakak mau sarapan apa?”

Azzam tak menjawab.

“Kak... Jangan bikin aku khawatir, ke dokter aja ya?”

Mendengar suara nafas Azzam membuat Jasmine ingin menangis, pasalnya Azzam benar-benar demam. Dan Jasmine sangat merasa bersalah akan itu.

“Cepet sembuh, ya, Kak? Aku udah hafal juz 30, Kakak mau denger nggak?”

Dalam posisi mata yang tertutup itu Azzam tersenyum dan mengangguk.

“Iya, saya mau denger.”

“Sembuh dulu.”

“Saya bakal sembuh, tapi saya pinjem peluk kamu seharian ini, boleh? Saya kangen kamu... sampe sakit rasanya.”


© Jupiter Lee

Seperti biasa, jangan lupa untuk menyetel lagu rekomendasinya:')

Selama di perjalanan menuju rumah, Azzam terus-terusan menunduk, beberapa kali Pak Yayan memanggilnya namun lelaki itu seperti tidak mendengar.

Sampai di rumah, Azzam melihat Tito yang tertidur di kursi teras rumahnya.

“Akhirnya pulang juga.” Tito terbangun karena mendengar suara gerbang dibuka.

“Kamu daritadi disini?”

“Ya iya, orang nggak dibukain pintu,” keluh Tito sembari memakai jaketnya. “Gue mau pulang, Bang.”

“Makasih, ya, kamu udah mau ngejagain.”

“Jasmine juga masih Kakak gue, jadi gue ikhlas kok jagainnya, walaupun agak kesel dikit.”

“Udah larut, hati-hati pulangnya jangan ngebut.”

Tito mengangguk, “iya, semoga masalah sama Kakak gue cepet selesai, ya.”


Kondisi rumah begitu hening, terdengar suara Jasmine yang sedang menyinsring hingusnya. Beruntung Azzam dapat masuk ke rumah karena mempunyai kunci cadangan. Ia pun pelan-pelan membuka pintu kamar yang ternyata tidak terkunci itu.

Mata Azzam terbelalak kala melihat Jasmine duduk di sudut kamar dengan kondisi yang kacau dan terdapat puntungan rokok di lantai. Sesegera mungkin Azzam meraih sebatang rokok yang hendak Jasmine hisap lagi. Lelaki itu langsung mengepal rokok Jasmine hingga apinya padam.

“Kamu beneran nekat?!” Azzam berlutut di depan Jasmine dengan mengguncang bahu gadis itu.

“Jasmine, jawab saya.”

“Kan bisa liat sendiri.” Ketus Jasmine.

Azzam mengusap wajahnya kasar, ” Ya Allah... kenapa kamu kayak gini? Kamu boleh kecewa sama saya tapi nggak kayak gini.”

Sejak awal Jasmine tak sedikitpun melihat Azzam, ia hanya menunduk dengan bahu yang naik turun.

“Gue nggak mau ketemu lo, pergi aja sana!”

Azzam merogoh kantong, mencari ponselnya. Ia membuka chat nya dengan Sarah, namun Jasmine enggan untuk melihat.

“Baca ini.”

Seolah menganggap Azzam sebagai angin lewat, Jasmine malah mau meraih rokoknya lagi.

Dengan sigap Azzam menepis tangannya. “Kamu mending pukul saya aja. Pukul saya, Jasmine!”

Menyadari telah berbicara tinggi pada Jasmine, Azzam langsung merengkuh tubuh gadis itu, masih dalam posisi yang sama-sama terduduk.

Jasmine memberontak tak ingin di peluk, tetapi semakin ia memberontak semakin erat pula Azzam memeluknya.

“Lepas!”

“Nggak. Saya marah. Saya beneran marah sama kamu.” Tutur Azzam dengan suaranya yang bergetar.

“Lepas, Kak...”

Lama kelamaan Jasmine pasrah dan diam di dalam pelukan Azzam.

“Maaf, maaf saya ngebentak kamu. Saya cuma nggak mau kamu nyentuh racun itu lagi, saya tau kamu marah, tapi kamu nggak boleh sampe berpikir buat ngerokok. Saya sedih kalo ngeliat kamu kayak gitu, saya ngerasa gagal, Jasmine...”

Jasmine tak menjawab sampai Azzam melanjutkan ucapannya.

“Saya juga sedih karena kamu nggak percaya sama saya. Padahal saya udah ceritain yang sejujurnya. Saya nggak pernah bohong sama kamu. Kamu bisa liat chat saya sama Sarah.”

“Aku... aku takut...”

Azzam melepaskan pelukan mereka, ia duduk bersandar dengan meluruskan kedua kaki. Kemudian ia membawa Jasmine duduk di atas pangkuannya. Membawa gadis itu untuk berhadapan dengan wajahnya.

“Liat saya.”

Jasmine menggeleng, “nggak mau.”

Terpaksa Azzam mengangkat wajah Jasmine, memaksa gadis itu untuk menatapnya. Seketika perasaan Jasmine terasa di cabik-cabik kala melihat raut wajah Azzam yang sedih, emosi, dan kecewa. Tak sanggup Jasmine untuk menatapnya lebih lama hingga ia lemas dan menyandarkan kepalanya di bahu Azzam.

Lelaki itu menghembuskan nafas dengan kasar, ia mendongakkan kepalanya yang masih bersandar pada tembok. Sementara Jasmine masih duduk di atas pangkuannya dan menangis terisak diceruk leher lelaki itu.

Azzam mengelus surai Jasmine, “udah nangisnya, ya? Maafin saya, saya minta maaf.”

“Aku kayak anak-anak banget, ya, Kak? Harusnya aku nggak cemburuan kayak gini, h-harusnya aku percaya sama Kakak, maaf... Maaf aku ngecewain...” Ucap gadis itu sembari sesenggukan.

“Saya seneng kamu cemburu, artinya kamu cinta sama saya. Tapi saya sedih karena kamu lebih percaya sama Sarah ketimbang kamu percaya sama saya.”

Jasmine memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya dan menatap Azzam yang posisinya lebih rendah darinya. Azzam pun kian mendongak ketika tangan gadis itu menyusuri rahang tegasnya.

“Maaf...” cicit Jasmine pelan.

“Asalkan kamu janji itu terakhir kamu ngerokok kayak tadi, saya nggak mau liat kamu nyentuh rokok lagi, ya?”

Dengan wajah melasnya Jasmine mengangguk, lalu perlahan ia menunduk, mendekatkan wajahnya, dan mendaratkan bibirnya di atas bibir pucat Azzam.


[ Pukul 02:20 Dini Hari ]

Jasmine tertidur di dalam dekapan Azzam. Tetapi ia terbangun karena merasakan hawa panas dari tubuh lelaki itu. Ia juga melihat Azzam tertidur dengan wajah yang gelisah.

“Kak...?”

Ia memegang dahi Azzam yang rupanya mengalami demam tinggi. Jasmine begitu panik dan berusaha melepas tangan Azzam yang melingkar di punggungnya.

“Jangan pergi...” racau Azzam dengan kedua matanya yang terpejam kuat.

“Kakak demam, aku ambilin air kompresan, ya?”

Azzam menggeleng pelan, “jangan pergi, Jasmine, saya bilang jangan pergi...”

“Aku nggak kemana-mana, aku cuma mau ke dapur, Kak.”

“Nggak mau.”

“T-tapi...”

Dengan susah payah Azzam membuka matanya yang merah dan berair, lalu tersenyum tipis pada Jasmine, “saya nggak apa-apa, cuma capek, nanti pagi saya sembuh. Kamu tidur aja...”

Mau tau mau Jasmine kembali ke dalam dekapan lelaki itu. Namun ia enggan untuk tertidur. Ia merasakan tubuh Azzam yang semakin panas, deru nafasnya berantakan, dan suara jantungnya begitu terdengar.

Hingga menjelang Adzan Subuh, lelaki itu tak juga bangun, tidak seperti pada hari-hari biasanya.

“Kak? Udah adzan,” Jasmine mengguncang tubuh Azzam.

Lagi, Azzam membuka kelopak matanya dengan kesulitan. “Saya shalat dirumah dulu,”

“Kakak kenapa? Apa yang lagi dirasa?”

“Saya mau shalat, bantu saya ganti baju ya.”

Jasmine membantu Azzam mengganti pakaiannya, lalu lelaki itu berwudhu dengan tayamum, dan duduk bersandar pada ranjang. Hati Jasmine kembali terenyuh melihat lemahnya Azzam, namun memaksakan diri untuk tetap menjalankan kewajibannya.

Jasmine malu. Sungguh. Apalagi saat ia mengingat ia merokok hanya karena pikirannya kacau, bukannya mendekat pada Allah, ia malah menjauhi Allah dan menganggap bahwa dunia tidak adil. Padahal, ia yang malas untuk beribadah.

Kemudian ia bergegas untuk shalat juga. Saat itu ia merakan ketenangan pada pikiran dan hatinya. Dan saat itu juga ia tahu, bahwa shalat dapat menenangkan jiwa nya.


“Kakak mau sarapan apa?”

Azzam tak menjawab.

“Kak... Jangan bikin aku khawatir, ke dokter aja ya?”

Mendengar suara nafas Azzam membuat Jasmine ingin menangis, pasalnya Azzam benar-benar demam. Dan Jasmine sangat merasa bersalah akan itu.

“Cepet sembuh, ya, Kak? Aku udah hafal juz 30, Kakak mau denger nggak?”

Dalam posisi mata yang tertutup itu Azzam tersenyum dan mengangguk.

“Iya, saya mau denger.”

“Sembuh dulu.”

“Saya bakal sembuh, tapi saya pinjem peluk kamu seharian ini, boleh? Saya kangen kamu... sampe sakit rasanya.”

image


© Jupiter Lee

CW // KISS ⚠️ Ayo setel lagu req nya biar makin ahsjaksjdagshhshdjldl

LELAKI itu memberikan ponselnya pada Jasmine secara tiba-tiba sampai gadis itu mengerutkan keningnya.

“Kenapa?”

“Kamu aja yang bales,”

Jasmine bingung, “bales apa?”

“Liat aja.” Gadis itu menggulirkan pesannya dari atas sampai bawah. Bahunya naik turun karena kesal. Ia langsung membanting ponsel Azzam ke atas kasur.

“KOK SI NENEK SIHIR MASIH NGECHAT, SIH?!”

Azzam memegang kedua pundak Jasmine, mengelus nya kemudian membiarkan gadis itu bersandar di bahu nya.

“Saya nggak tau itu Sarah mana, soalnya dia nggak ngasih tau nama lengkap.”

“Tapi tetep aja dia juga nyebelin! Maksudnya apa ngechat kayak gitu? Dia nggak tau apa kalo aku udah ngamuk itu mobil juga bisa aku angkat pake jari!”

Azzam membiarkan gadis itu meluapkan emosinya, sedangkan tangan Azzam tak berhenti untuk mengelus surai hitam sebahu milik Jasmine. Lama kelamaan ia merasakan badan Jasmine bergetar dan terdengar suara isakkan tangis.

Sontak lelaki itu panik, “Jasmine? Hei? Kok nangis?” ia menundukkan kepalanya untuk melihat wajah gadis yang masih bersandar di bahu nya itu.

“Kak… kenapa banyak yang suka sama Kakak, ya? Aku takut… aku takut Kakak ninggalin aku,” tutur Jasmine dengan air matanya yang jatuh berderai.

Malam hari dengan hujan deras disertai angin dan gemuruh itu sangat mendukung Jasmine untuk menangis. Ia semakin menenggelamkan kepalanya di bahu Azzam.

Melihat perubahan mood Jasmine yang ekstrem, juga wajah gadis itu seketika merah padam dengan pipi yang berjejak air mata Azzam langsung menangkup wajah Jasmine dan menghapus jejak air mata itu dengan ibu jarinya.

“Saya kaget kamu tiba-tiba nangis,”

Jasmine menurunkan tangan Azzam dari pipi nya. Ia menggenggam jemari sang lelaki, mengepal juga mencengkramnya.

“Sebenernya aku itu gampang cemburu, Kak, dari awal Sarah yang ketemu Kakak aja aku udah cemburu banget. Aku udah nahan buat nggak nangis, tapi gak bisa...”

Lalu ia memunggungi Azzam karena malu wajahnya basah kuyup dengan air mata. Ini kali pertama Jasmine menangis di depan orang lain, biasanya ia akan mengunci diri di kamar jika hendak menangis. “Sebentar, aku malu.”

Tanpa basa-basi, Azzam merengkuh tubuh kecil itu dari belakang, “kamu boleh keliatan kuat di depan orang banyak, tapi kamu nggak harus keliatan kuat di depan saya. Kalo kamu mau nangis, nggak masalah.”

“Aku cuma tiba-tiba kepikiran, Kakak itu bisa di bilang hampir sempurna buat jadi pasangan, banyak banget perempuan yang suka sama Kakak. Aku nggak bisa mencegah mereka buat nggak suka sama Kakak, karena jujur, kalo aku ada di posisi mereka pun aku pasti suka juga sama Kakak, tapi beberapa dari mereka itu nggak tau batasan dan seolah nggak mau tau kalo Kakak itu punya aku.”

“Kalo mereka nggak bisa ngejaga perasaan mereka. Biar saya yang jaga perasaan saya sendiri.”

“Gimana pun Kakak juga manusia, dan perasaan manusia bisa aja berubah-ubah. Aku takut kalo Kakak nanti berpaling hati.”

Azzam mengeratkan pelukannya, menciumi bahu Jasmine dari belakang dan menyandarkan kepalanya di sana.

“Kamu denger sumpah saya waktu ijab kabul, 'kan? Disitu saya bersumpah di langit dan di bumi, Jasmine. Saya nggak cuma bersumpah di depan Ayah kamu tapi saya juga bersumpah di depan Allah bahwa saya mencintai kamu seutuhnya dan menjadikan kamu satu-satunya sampai nanti ke Surga.” Azzam menghela nafasnya sejenak untuk melanjutkan.

“Dari banyaknya perempuan di dunia ini, cuma kamu yang beda. Karena apa? Mereka perempuan biasa, sementara kamu perempuan saya.”

Jasmine semakin terisak. Rasa takut serta cemburu itu membuncah di dadanya.

“Hadap ke saya, mana, saya mau liat muka cantiknya.”

“Nggak mau, lagi jelek.”

Akhirnya terpaksa Azzam membalik tubuh itu menghadapnya. Azzam mengangkat dagu Jasmine dan berpura-pura seperti sedang mengamati wajah itu.

“Bohong, nih, cantik banget kayak gini? Oh mungkin ini bukan Jasmine kayaknya, ini bidadari, ya?”

Bualan ringan Azzam mengundang senyum Jasmine di sela-sela tangisnya.

“Nah, gitu, kan makin cantik. Kalo kayak gini terus saya bisa pusing.”

“Kak, ih, lebay banget.” Jasmine terkekeh masih dengan kedua netra yang bergenang air mata.

“Saya nggak ngelarang kamu nangis, tapi nanti kalo nangis harus bilang saya, ya? Biar saya temenin. Jangan nangis sendirian, saya mau kita nggak tertutup satu sama lain.”

“Iya, aku bakal lebih terbuka lagi, Kakak juga gitu, ya? Jangan ada yang disembunyiin, maupun sepele juga nggak apa-apa, aku bakal mau dengerin semua ceritanya.”

Seperti biasa, Azzam tersenyum meyakinkan. Tak menyia-nyiakan kesempatan lagi, lelaki itu menarik dagu wanita di depannya dan mendaratkan kecupan di bibir ranum sang gadis. Awalnya kecupan, namun lama kelamaan menjadi sebuah lumatan halus yang murni tanpa ada unsur nafsu di dalamnya.

Tautan bibir itu terlepas, Azzam menempelkan dahinya dengan dahi Jasmine hingga hidung mereka saling bersentuhan.

“Jangan takut lagi, karena kamu adalah jatuh cinta terakhir saya.”

image


© Jupiter Lee

CW // KISS ⚠️ Ayo setel lagu req nya biar makin ahsjaksjdagshhshdjldl

LELAKI itu memberikan ponselnya pada Jasmine secara tiba-tiba sampai gadis itu mengerutkan keningnya.

“Kenapa?”

“Kamu aja yang bales,”

Jasmine bingung, “bales apa?”

“Liat aja.” Gadis itu menggulirkan pesannya dari atas sampai bawah. Bahunya naik turun karena kesal. Ia langsung membanting ponsel Azzam ke atas kasur.

“KOK SI NENEK SIHIR MASIH NGECHAT, SIH?!”

Azzam memegang kedua pundak Jasmine, mengelus nya kemudian membiarkan gadis itu bersandar di bahu nya.

“Saya nggak tau itu Sarah mana, soalnya dia nggak ngasih tau nama lengkap.”

“Tapi tetep aja dia juga nyebelin! Maksudnya apa ngechat kayak gitu? Dia nggak tau apa kalo aku udah ngamuk itu mobil juga bisa aku angkat pake jari!”

Azzam membiarkan gadis itu meluapkan emosinya, sedangkan tangan Azzam tak berhenti untuk mengelus surai hitam sebahu milik Jasmine. Lama kelamaan ia merasakan badan Jasmine bergetar dan terdengar suara isakkan tangis.

Sontak lelaki itu panik, “Jasmine? Hei? Kok nangis?” ia menundukkan kepalanya untuk melihat wajah gadis yang masih bersandar di bahu nya itu.

“Kak… kenapa banyak yang suka sama Kakak, ya? Aku takut… aku takut Kakak ninggalin aku,” tutur Jasmine dengan air matanya yang jatuh berderai.

Malam hari dengan hujan deras disertai angin dan gemuruh itu sangat mendukung Jasmine untuk menangis. Ia semakin menenggelamkan kepalanya di bahu Azzam.

Melihat perubahan mood Jasmine yang ekstrem, juga wajah gadis itu seketika merah padam dengan pipi yang berjejak air mata Azzam langsung menangkup wajah Jasmine dan menghapus jejak air mata itu dengan ibu jarinya.

“Saya kaget kamu tiba-tiba nangis,”

Jasmine menurunkan tangan Azzam dari pipi nya. Ia menggenggam jemari sang lelaki, mengepal juga mencengkramnya.

“Sebenernya aku itu gampang cemburu, Kak, dari awal Sarah yang ketemu Kakak aja aku udah cemburu banget. Aku udah nahan buat nggak nangis, tapi gak bisa...”

Lalu ia memunggungi Azzam karena malu wajahnya basah kuyup dengan air mata. Ini kali pertama Jasmine menangis di depan orang lain, biasanya ia akan mengunci diri di kamar jika hendak menangis. “Sebentar, aku malu.”

Tanpa basa-basi, Azzam merengkuh tubuh kecil itu dari belakang, “kamu boleh keliatan kuat di depan orang banyak, tapi kamu nggak harus keliatan kuat di depan saya. Kalo kamu mau nangis, nggak masalah.”

“Aku cuma tiba-tiba kepikiran, Kakak itu bisa di bilang hampir sempurna buat jadi pasangan, banyak banget perempuan yang suka sama Kakak. Aku nggak bisa mencegah mereka buat nggak suka sama Kakak, karena jujur, kalo aku ada di posisi mereka pun aku pasti suka juga sama Kakak, tapi beberapa dari mereka itu nggak tau batasan dan seolah nggak mau tau kalo Kakak itu punya aku.”

“Kalo mereka nggak bisa ngejaga perasaan mereka. Biar saya yang jaga perasaan saya sendiri.”

“Gimana pun Kakak juga manusia, dan perasaan manusia bisa aja berubah-ubah. Aku takut kalo Kakak nanti berpaling hati.”

Azzam mengeratkan pelukannya, menciumi bahu Jasmine dari belakang dan menyandarkan kepalanya di sana.

*“Kamu denger sumpah saya waktu ijab kabul, 'kan? Disitu saya bersumpah di langit dan di bumi, Jasmine. Saya nggak cuma bersumpah di depan Ayah kamu tapi saya juga bersumpah di depan Allah bahwa saya mencintai kamu seutuhnya dan menjadikan kamu satu-satunya sampai nanti ke Surga.” Azzam menghela nafasnya sejenak untuk melanjutkan.

“Dari banyaknya perempuan di dunia ini, cuma kamu yang beda. Karena apa? Mereka perempuan biasa, sementara kamu perempuan saya.”

Jasmine semakin terisak. Rasa takut serta cemburu itu membuncah di dadanya.

“Hadap ke saya, mana, saya mau liat muka cantiknya.”

“Nggak mau, lagi jelek.”

Akhirnya terpaksa Azzam membalik tubuh itu menghadapnya. Azzam mengangkat dagu Jasmine dan berpura-pura seperti sedang mengamati wajah itu.

“Bohong, nih, cantik banget kayak gini? Oh mungkin ini bukan Jasmine kayaknya, ini bidadari, ya?”

Bualan ringan Azzam mengundang senyum Jasmine di sela-sela tangisnya.

“Nah, gitu, kan makin cantik. Kalo kayak gini terus saya bisa pusing.”

“Kak, ih, lebay banget.” Jasmine terkekeh masih dengan kedua netra yang bergenang air mata.

“Saya nggak ngelarang kamu nangis, tapi nanti kalo nangis harus bilang saya, ya? Biar saya temenin. Jangan nangis sendirian, saya mau kita nggak tertutup satu sama lain.”

“Iya, aku bakal lebih terbuka lagi, Kakak juga gitu, ya? Jangan ada yang disembunyiin, maupun sepele juga nggak apa-apa, aku bakal mau dengerin semua ceritanya.”

Seperti biasa, Azzam tersenyum meyakinkan. Tak menyia-nyiakan kesempatan lagi, lelaki itu menarik dagu wanita di depannya dan mendaratkan kecupan di bibir ranum sang gadis. Awalnya kecupan, namun lama kelamaan menjadi sebuah lumatan halus yang murni tanpa ada unsur nafsu di dalamnya.

Tautan bibir itu terlepas, Azzam menempelkan dahinya dengan dahi Jasmine hingga hidung mereka saling bersentuhan.

“Jangan takut lagi, karena kamu adalah jatuh cinta terakhir saya.”

image


© Jupiter Lee

CW // KISS ⚠️ Ayo setel lagu req nya biar makin ahsjaksjdagshhshdjldl

LELAKI itu memberikan ponselnya pada Jasmine secara tiba-tiba sampai gadis itu mengerutkan keningnya.

“Kenapa?”

“Kamu aja yang bales,”

Jasmine bingung, “bales apa?”

“Liat aja.” Gadis itu menggulirkan pesannya dari atas sampai bawah. Bahunya naik turun karena kesal. Ia langsung membanting ponsel Azzam ke atas kasur.

“KOK SI NENEK SIHIR MASIH NGECHAT, SIH?!”

Azzam memegang kedua pundak Jasmine, mengelus nya kemudian membiarkan gadis itu bersandar di bahu nya.

“Saya nggak tau itu Sarah mana, soalnya dia nggak ngasih tau nama lengkap.”

“Tapi tetep aja dia juga nyebelin! Maksudnya apa ngechat kayak gitu? Dia nggak tau apa kalo aku udah ngamuk itu mobil juga bisa aku angkat pake jari!”

Azzam membiarkan gadis itu meluapkan emosinya, sedangkan tangan Azzam tak berhenti untuk mengelus surai hitam sebahu milik Jasmine. Lama kelamaan ia merasakan badan Jasmine bergetar dan terdengar suara isakkan tangis.

Sontak lelaki itu panik, “Jasmine? Hei? Kok nangis?” ia menundukkan kepalanya untuk melihat wajah gadis yang masih bersandar di bahu nya itu.

“Kak… kenapa banyak yang suka sama Kakak, ya? Aku takut… aku takut Kakak ninggalin aku,” tutur Jasmine dengan air matanya yang jatuh berderai.

Sore hari yang hujan deras disertai angin dan gemuruh itu sangat mendukung Jasmine untuk menangis. Ia semakin menenggelamkan kepalanya di bahu Azzam.

Melihat perubahan mood Jasmine yang ekstrem, juga wajah gadis itu seketika merah padam dengan pipi yang berjejak air mata Azzam langsung menangkup wajah Jasmine dan menghapus jejak air mata itu dengan ibu jarinya.

“Saya kaget kamu tiba-tiba nangis,”

Jasmine menurunkan tangan Azzam dari pipi nya. Ia menggenggam jemari sang lelaki, mengepal juga mencengkramnya.

“Sebenernya aku itu gampang cemburu, Kak, dari awal Sarah yang ketemu Kakak aja aku udah cemburu banget. Aku udah nahan buat nggak nangis, tapi gak bisa...”

Lalu ia memunggungi Azzam karena malu wajahnya basah kuyup dengan air mata. Ini kali pertama Jasmine menangis di depan orang lain, biasanya ia akan mengunci diri di kamar jika hendak menangis. “Sebentar, aku malu.”

Tanpa basa-basi, Azzam merengkuh tubuh kecil itu dari belakang, “kamu boleh keliatan kuat di depan orang banyak, tapi kamu nggak harus keliatan kuat di depan saya. Kalo kamu mau nangis, nggak masalah.”

“Aku cuma tiba-tiba kepikiran, Kakak itu bisa di bilang hampir sempurna buat jadi pasangan, banyak banget perempuan yang suka sama Kakak. Aku nggak bisa mencegah mereka buat nggak suka sama Kakak, karena jujur, kalo aku ada di posisi mereka pun aku pasti suka juga sama Kakak, tapi beberapa dari mereka itu nggak tau batasan dan seolah nggak mau tau kalo Kakak itu punya aku.”

“Kalo mereka nggak bisa ngejaga perasaan mereka. Biar saya yang jaga perasaan saya sendiri.”

“Gimana pun Kakak juga manusia, dan perasaan manusia bisa aja berubah-ubah. Aku takut kalo Kakak nanti berpaling hati.”

Azzam mengeratkan pelukannya, menciumi bahu Jasmine dari belakang dan menyandarkan kepalanya di sana.

*“Kamu denger sumpah saya waktu ijab kabul, 'kan? Disitu saya bersumpah di langit dan di bumi, Jasmine. Saya nggak cuma bersumpah di depan Ayah kamu tapi saya juga bersumpah di depan Allah bahwa saya mencintai kamu seutuhnya dan menjadikan kamu satu-satunya sampai nanti ke Surga.” Azzam menghela nafasnya sejenak untuk melanjutkan.

“Dari banyaknya perempuan di dunia ini, cuma kamu yang beda. Karena apa? Mereka perempuan biasa, sementara kamu perempuan saya.”

Jasmine semakin terisak. Rasa takut serta cemburu itu membuncah di dadanya.

“Hadap ke saya, mana, saya mau liat muka cantiknya.”

“Nggak mau, lagi jelek.”

Akhirnya terpaksa Azzam membalik tubuh itu menghadapnya. Azzam mengangkat dagu Jasmine dan berpura-pura seperti sedang mengamati wajah itu.

“Bohong, nih, cantik banget kayak gini? Oh mungkin ini bukan Jasmine kayaknya, ini bidadari, ya?”

Bualan ringan Azzam mengundang senyum Jasmine di sela-sela tangisnya.

“Nah, gitu, kan makin cantik. Kalo kayak gini terus saya bisa pusing.”

“Kak, ih, lebay banget.” Jasmine terkekeh masih dengan kedua netra yang bergenang air mata.

“Saya nggak ngelarang kamu nangis, tapi nanti kalo nangis harus bilang saya, ya? Biar saya temenin. Jangan nangis sendirian, saya mau kita nggak tertutup satu sama lain.”

“Iya, aku bakal lebih terbuka lagi, Kakak juga gitu, ya? Jangan ada yang disembunyiin, maupun sepele juga nggak apa-apa, aku bakal mau dengerin semua ceritanya.”

Seperti biasa, Azzam tersenyum meyakinkan. Tak menyia-nyiakan kesempatan lagi, lelaki itu menarik dagu wanita di depannya dan mendaratkan kecupan di bibir ranum sang gadis. Awalnya kecupan, namun lama kelamaan menjadi sebuah lumatan halus yang murni tanpa ada unsur nafsu di dalamnya.

“Jangan takut lagi, karena kamu lah pemilik cinta saya.”

Jasmine mengangguk percaya, kemudian mengusap wajahnya. “Ya udah, bentar lagi maghrib, aku atau Kakak duluan yang mandi?”

“Bareng.”

image


© Jupiter Lee