Hadiah

⚠ WARNING ⚠ Mengandung (sedikit) muatan dewasa, bagi pembaca yang belum cukup umur atau tidak nyaman dengan konten tersebut dianjurkan untuk tidak membacanya. Diharapkan kebijaksanaan dan kesadaran pembaca.


Azzam menjalankan mobilnya dengan kecepatan yang lebih cepat dari biasanya. Hari ini begitu melelahkan, ingin rasanya Azzam cepat tiba di rumah, ingin melihat Jasmine dan kedua anaknya. Ketiga orang itu adalah pelipur lara Azzam di kala ia merasakan hari-hari yang sulit.

Usai tiba di rumah, ia tak langsung masuk ke dalam kamar, melainkan terlebih dahulu mandi dan mengganti pakaiannya.

Mendengar suara air, Jasmine menyadari bahwa lelakinya itu sudah pulang. Gadis itu melirik pantulan wajahnya di cermin, dengan bertanya-tanya di dalam hatinya sendiri, ‘udah cantik belum, ya?’. Lantas ia pelan-pelan membuka pintu kamar, tak ingin menciptakan suara apapun agar Abizar dan Shereen tidak bangun.

Jauh di sana ia melihat sosok Azzam yang berdiri di depan pintu kamar mandi sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk. Ia mengenakan kaos hitam polos dan calana bahan selutut, rambut Azzam belum sepenuhnya mengering. Jasmine memperhatikan lelaki itu dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.

Tampan. Selalu tampan.

image

“Kak.” Panggil Jasmine seraya mendekati pria itu dan mencium punggung tangannya.

“Eh, kirain udah tidur,”

“Nungguin Kakak, hehe.”

“Tumben. Kangen, ya?”

“Iya.” Cebik Jasmine manja. “Dua bulan ini udah jaraaaaang banget peluk, apalagi cium.”

Melihat tingkah gadisnya itu Azzam tersenyum, “tunggu di sini.”

“Mau kemana?”

“Mau ketemu si kembar, sekalian izin mau pinjem Bunda nya dulu.”


Jasmine menoleh sewaktu mendengar suara pintu yang tertutup, menampakkan Azzam yang berdiri tegap di sana dengan merentangkan kedua tangannya. “Di izinin katanya. Sini, peluk.”

Entah mengapa Azzam begitu menggemaskan saat ini, hingga Jasmine tersihir dan langsung menghampiri lelaki itu serta jatuh ke dalam dekapannya.

Pelukan hangat yang selalu di rindukan. Dalam dua bulan ini mereka sulit untuk memiliki waktu berdua yang lama lantaran kedua anak mereka sangat mudah menangis. Bahkan tertidur pun sudah tak lagi saling memeluk. Bercumbu juga dapat dihitung dengan jari.

Maka dari itu, kesempatan ini tak Jasmine sia-siakan untuk tertidur.

Ia menyamankan posisinya di dalam rengkuhan Azzam. Mereka sama-sama terdiam, keheningan yang hanya dihiasi dengan suara detak jantung yang saling sahut-menyahut.

“Kangen banget kayak gini...” gumam Jasmine.

“Iya, saya juga.” Azzam mundur tanpa melepas pelukannya, membuat punggung lelaki itu bersandar pada tembok. “Ngomong-ngomong kamu beneran enggak keberatan, 'kan, kalo saya terima tawaran jadi penerjemah?”

Jasmine menggeleng yakin, “enggak, aku malah seneng sekaligus bangga sama Kakak.”

“Oh, ya—itu...”

“Apa?”

“Hadiah saya? Mana?”

Mendengar pertanyaan Azzam barusan, Jasmine melonggarkan lingkar tangannya di pinggang lelaki itu. “Tutup mata, Kak.”

Menurut. Azzam menutup kedua matanya dan seketika merasakan sesuatu menyentuh bibirnya. Ia pun membuka mata sejenak, melihat Jasmine yang kesulitan karena harus berjinjit untuk menciumnya.

Akhirnya lelaki itu merendahkan kepalanya, memberi akses mudah pada Jasmine agar ia tak harus berjinjit.

Kemudian saat Jasmine hendak menyudahi aksinya, Azzam justru menahan tengkuk leher gadis itu, semakin memperdalam ciuman mereka. Lumatan yang halus tapi menuntut. Bahkan kini Azzam membalikkan posisi Jasmine menjadi gadis itu yang bersandar pada tembok.

“Kak—mmhh,

Seperti mengabaikan suara sang gadis, Azzam turun untuk mengecup pundak gadisnya, menghirup aroma parfum yang Jasmine pakai. Lalu kembali menyambar bibir ranum gadis di depannya.

Jasmine kewalahan.

Ia terpaksa mendorong kuat bahu lelaki itu agar menjauh. “Bentar, Kak, bentar...” nafas Jasmine berantakan.

Sedangkan Azzam menatap Jasmine dengan kedua matanya yang berkabut, “nanti keburu mereka bangun.”

“Enggak, mereka pules kok, soalnya dari tadi siang enggak tidur.”

Pria itu beralih untuk menyandarkan kepalanya di bahu sang gadis, “maaf, ya... saya jadi payah gini.”

Jasmine mengerti perasaan pria nya itu. Kedua tangannya turun-naik untuk mengusap punggung Azzam dan tanpa Jasmine sadari bahwa Azzam juga telah meloloskan tangannya masuk ke dalam piyama yang ia kenakan—mengelus punggung gadis itu.

“Kayaknya tadi saya mandi, tapi kenapa badan saya panas, ya? Apa AC-nya gak berfungsi?” Suara berat nan parau Azzam yang masih bertengger di bahunya itu seketika membuat bulu kuduk Jasmine berdiri.

“Kakak mau apa?”

Azzam menegakkan tubuhnya, ia memperhatikan wajah sang gadis lamat-lamat, membuat yang ditatap itu malu setengah mati. Perlahan jemari Azzam naik untuk mengusap rahang Jasmine, dan mengusap bibir gadis itu dengan ibu jarinya. “Mau ini aja.”

“Selama Abizar sama Shereen tidur, malam ini aku punya Kakak.” Ujar si gadis dengan nada yang meyakinkan.

Cup.

“Udah. Saya enggak akan minta lebih dari ini. Makasih, ya, Jasmine.”

Wanita itu tahu bahwa Azzam menahan hasratnya. Namun, bagaimanapun Jasmine juga lelah dan ingin cepat-cepat berbaring.

“Tidur, ya? Istirahat. Besok habis subuh kita ngaji bareng lagi.”

Dan malam ini berakhir dengan Jasmine yang tertidur di kasur sebelah kanan dan Azzam yang tertidur di kasur sebelah kiri, di tengah-tengah mereka terdapat si kembar yang tertidur pulas. Akan tetapi Azzam meraih tangan Jasmine dan menggenggam tangan perempuannya itu sampai waktu fajar datang.


© Jupiter Lee