Marah & Sakit

Seperti biasa, jangan lupa untuk menyetel lagu rekomendasinya:')

Selama di perjalanan menuju rumah, Azzam terus-terusan menunduk, beberapa kali Pak Yayan memanggilnya namun lelaki itu seperti tidak mendengar.

Sampai di rumah, Azzam melihat Tito yang tertidur di kursi teras rumahnya.

“Akhirnya pulang juga.” Tito terbangun karena mendengar suara gerbang dibuka.

“Kamu daritadi disini?”

“Ya iya, orang nggak dibukain pintu,” keluh Tito sembari memakai jaketnya. “Gue mau pulang, Bang.”

“Makasih, ya, kamu udah mau ngejagain.”

“Jasmine juga masih Kakak gue, jadi gue ikhlas kok jagainnya, walaupun agak kesel dikit.”

“Udah larut, hati-hati pulangnya jangan ngebut.”

Tito mengangguk, “iya, semoga masalah sama Kakak gue cepet selesai, ya.”


Kondisi rumah begitu hening, terdengar suara Jasmine yang sedang menyinsring hingusnya. Beruntung Azzam dapat masuk ke rumah karena mempunyai kunci cadangan. Ia pun pelan-pelan membuka pintu kamar yang ternyata tidak terkunci itu.

Mata Azzam terbelalak kala melihat Jasmine duduk di sudut kamar dengan kondisi yang kacau dan terdapat puntungan rokok di lantai. Sesegera mungkin Azzam meraih sebatang rokok yang hendak Jasmine hisap lagi. Lelaki itu langsung mengepal rokok Jasmine hingga apinya padam.

“Kamu beneran nekat?!” Azzam berlutut di depan Jasmine dengan mengguncang bahu gadis itu.

“Jasmine, jawab saya.”

“Kan bisa liat sendiri.” Ketus Jasmine.

Azzam mengusap wajahnya kasar, ” Ya Allah... kenapa kamu kayak gini? Kamu boleh kecewa sama saya tapi nggak kayak gini.”

Sejak awal Jasmine tak sedikitpun melihat Azzam, ia hanya menunduk dengan bahu yang naik turun.

“Gue nggak mau ketemu lo, pergi aja sana!”

Azzam merogoh kantong, mencari ponselnya. Ia membuka chat nya dengan Sarah, namun Jasmine enggan untuk melihat.

“Baca ini.”

Seolah menganggap Azzam sebagai angin lewat, Jasmine malah mau meraih rokoknya lagi.

Dengan sigap Azzam menepis tangannya. “Kamu mending pukul saya aja. Pukul saya, Jasmine!”

Menyadari telah berbicara tinggi pada Jasmine, Azzam langsung merengkuh tubuh gadis itu, masih dalam posisi yang sama-sama terduduk.

Jasmine memberontak tak ingin di peluk, tetapi semakin ia memberontak semakin erat pula Azzam memeluknya.

“Lepas!”

“Nggak. Saya marah. Saya beneran marah sama kamu.” Tutur Azzam dengan suaranya yang bergetar.

“Lepas, Kak...”

Lama kelamaan Jasmine pasrah dan diam di dalam pelukan Azzam.

“Maaf, maaf saya ngebentak kamu. Saya cuma nggak mau kamu nyentuh racun itu lagi, saya tau kamu marah, tapi kamu nggak boleh sampe berpikir buat ngerokok. Saya sedih kalo ngeliat kamu kayak gitu, saya ngerasa gagal, Jasmine...”

Jasmine tak menjawab sampai Azzam melanjutkan ucapannya.

“Saya juga sedih karena kamu nggak percaya sama saya. Padahal saya udah ceritain yang sejujurnya. Saya nggak pernah bohong sama kamu. Kamu bisa liat chat saya sama Sarah.”

“Aku... aku takut...”

Azzam melepaskan pelukan mereka, ia duduk bersandar dengan meluruskan kedua kaki. Kemudian ia membawa Jasmine duduk di atas pangkuannya. Membawa gadis itu untuk berhadapan dengan wajahnya.

“Liat saya.”

Jasmine menggeleng, “nggak mau.”

Terpaksa Azzam mengangkat wajah Jasmine, memaksa gadis itu untuk menatapnya. Seketika perasaan Jasmine terasa di cabik-cabik kala melihat raut wajah Azzam yang sedih, emosi, dan kecewa. Tak sanggup Jasmine untuk menatapnya lebih lama hingga ia lemas dan menyandarkan kepalanya di bahu Azzam.

Lelaki itu menghembuskan nafas dengan kasar, ia mendongakkan kepalanya yang masih bersandar pada tembok. Sementara Jasmine masih duduk di atas pangkuannya dan menangis terisak diceruk leher lelaki itu.

Azzam mengelus surai Jasmine, “udah nangisnya, ya? Maafin saya, saya minta maaf.”

“Aku kayak anak-anak banget, ya, Kak? Harusnya aku nggak cemburuan kayak gini, h-harusnya aku percaya sama Kakak, maaf... Maaf aku ngecewain...” Ucap gadis itu sembari sesenggukan.

“Saya seneng kamu cemburu, artinya kamu cinta sama saya. Tapi saya sedih karena kamu lebih percaya sama Sarah ketimbang kamu percaya sama saya.”

Jasmine memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya dan menatap Azzam yang posisinya lebih rendah darinya. Azzam pun kian mendongak ketika tangan gadis itu menyusuri rahang tegasnya.

“Maaf...” cicit Jasmine pelan.

“Asalkan kamu janji itu terakhir kamu ngerokok kayak tadi, saya nggak mau liat kamu nyentuh rokok lagi, ya?”

Dengan wajah melasnya Jasmine mengangguk, lalu perlahan ia menunduk, mendekatkan wajahnya, dan mendaratkan bibirnya di atas bibir pucat Azzam.


[ Pukul 02:20 Dini Hari ]

Jasmine tertidur di dalam dekapan Azzam. Tetapi ia terbangun karena merasakan hawa panas dari tubuh lelaki itu. Ia juga melihat Azzam tertidur dengan wajah yang gelisah.

“Kak...?”

Ia memegang dahi Azzam yang rupanya mengalami demam tinggi. Jasmine begitu panik dan berusaha melepas tangan Azzam yang melingkar di punggungnya.

“Jangan pergi...” racau Azzam dengan kedua matanya yang terpejam kuat.

“Kakak demam, aku ambilin air kompresan, ya?”

Azzam menggeleng pelan, “jangan pergi, Jasmine, saya bilang jangan pergi...”

“Aku nggak kemana-mana, aku cuma mau ke dapur, Kak.”

“Nggak mau.”

“T-tapi...”

Dengan susah payah Azzam membuka matanya yang merah dan berair, lalu tersenyum tipis pada Jasmine, “saya nggak apa-apa, cuma capek, nanti pagi saya sembuh. Kamu tidur aja...”

Mau tau mau Jasmine kembali ke dalam dekapan lelaki itu. Namun ia enggan untuk tertidur. Ia merasakan tubuh Azzam yang semakin panas, deru nafasnya berantakan, dan suara jantungnya begitu terdengar.

Hingga menjelang Adzan Subuh, lelaki itu tak juga bangun, tidak seperti pada hari-hari biasanya.

“Kak? Udah adzan,” Jasmine mengguncang tubuh Azzam.

Lagi, Azzam membuka kelopak matanya dengan kesulitan. “Saya shalat dirumah dulu,”

“Kakak kenapa? Apa yang lagi dirasa?”

“Saya mau shalat, bantu saya ganti baju ya.”

Jasmine membantu Azzam mengganti pakaiannya, lalu lelaki itu berwudhu dengan tayamum, dan duduk bersandar pada ranjang. Hati Jasmine kembali terenyuh melihat lemahnya Azzam, namun memaksakan diri untuk tetap menjalankan kewajibannya.

Jasmine malu. Sungguh. Apalagi saat ia mengingat ia merokok hanya karena pikirannya kacau, bukannya mendekat pada Allah, ia malah menjauhi Allah dan menganggap bahwa dunia tidak adil. Padahal, ia yang malas untuk beribadah.

Kemudian ia bergegas untuk shalat juga. Saat itu ia merakan ketenangan pada pikiran dan hatinya. Dan saat itu juga ia tahu, bahwa shalat dapat menenangkan jiwa nya.


“Kakak mau sarapan apa?”

Azzam tak menjawab.

“Kak... Jangan bikin aku khawatir, ke dokter aja ya?”

Mendengar suara nafas Azzam membuat Jasmine ingin menangis, pasalnya Azzam benar-benar demam. Dan Jasmine sangat merasa bersalah akan itu.

“Cepet sembuh, ya, Kak? Aku udah hafal juz 30, Kakak mau denger nggak?”

Dalam posisi mata yang tertutup itu Azzam tersenyum dan mengangguk.

“Iya, saya mau denger.”

“Sembuh dulu.”

“Saya bakal sembuh, tapi saya pinjem peluk kamu seharian ini, boleh? Saya kangen kamu... sampe sakit rasanya.”


© Jupiter Lee