It's Okay to Not Be Okay

“Kalo Kakak capek, tolong ngeluh ke aku, ya, Kak? Aku bakal selalu jadi rumah buat Kakak pulang.”


Malam itu bau debu menyeruak masuk ke rongga hidung seorang gadis yang sedang melamun di depan jendela kamar yang sengaja ia biarkan terbuka. Hujan mendadak turun. Ia menoleh, melihat kedua buah hatinya yang sudah tertidur. Kini Jasmine hanya menunggu sang suami pulang.

Seperti yang dirinya tahu, Azzam sejak kemarin sore tak banyak bicara, lebih tepatnya saat laki-laki itu memergoki Jasmine yang sedang mengobrol dengan tetangga baru, padahal tetangga itu sudah beristri, dan mereka pun hanya menegur saja, tidak lebih. Mungkin karena rupa si tetangga baru itu cukup tampan, Azzam menjadi khawatir.

Jasmine mengetuk-mengetuk kaca yang berembun itu dengan kukunya, badannya seketika langsung berdiri dengan semangat kala melihat gerbang terbuka, menampakkan mobil putih Azzam yang masuk ke dalam garasi.

Dia pun bercermin, memastikan penampilannya sudah cukup cantik untuk bertemu dengan prianya. Akan tetapi, saat Jasmine memutar kenop pintu, ia melihat Azzam langsung beranjak naik ke lantai dua. Raut wajahnya sedang kusut.

Perlahan Jasmine menyusul, mengintip Azzam yang sedang menjambak frustasi rambutnya sendiri. Membuat semburat rasa cemas muncul di dadanya.

“Kak?”

Mendengar suara Jasmine, pria itu langsung merubah ekspresi wajahnya dari semula yang kusut, menjadi biasa saja. Tidak ada senyum tetapi tidak cemberut juga. Datar.

“Aku boleh masuk, 'kan?”

“Ya.”

Karena merasa diizinkan, gadis itu masuk dengan berlari kecil, menghampiri Azzam yang tak menatapnya sama sekali.

“Marah, ya, sama aku?” ia memanyunkan bibir layaknya anak kecil yang sedang merajuk.

“Nggak.” Balas Azzam dingin. Jasmine ingin membeku saja rasanya. Suasana rumah sejak kemarin sore benar-benar seperti di Kutub.

“Terus, kenapa nggak ke kamar dulu tadi pas pulang?”

“Saya kira kamu udah tidur, jadinya saya gak mau bikin kamu kebangun, apalagi Abizar sama Shereen nggak bisa ngedenger suara sedikit langsung bangun, 'kan?”

Jasmine menggaruk pelipisnya, “iya, sih... tapi dari kemarin Kakak kenapa diem terus?”

“Nggak apa-apa. Saya cuma lagi banyak kerjaan. Naskah terjemahan saya juga belum selesai, lusa harus udah di kasih ke sana.”

“Makan dulu, Kak, nanti baru lanjut lagi. Mau aku bikinin teh nggak?”

Azzam menggeleng, lantas menjauh dari Jasmine dan mendekati meja kerjanya. Ia seolah mengabaikan gadis yang berada di dalam kamar itu.

Hati Jasmine seakan tersayat, karena tak biasanya Azzam bersikap masa bodoh seperti ini. Apakah ia baru saja melakukan kesalahan besar? Apakah Azzam hanya lelah saja?

“Kak bisa bantu aku lepasin kalung nggak?” tanya Jasmine tiba-tiba.

Meskipun tidak menolak dan tidak mengiyakan, Azzam bangkit dari kursinya, kembali menuju Jasmine yang sedang terduduk di atas kasur.

Dengan gerakan cepat Azzam membuka kalung Jasmine yang sebenarnya tak ingin gadis itu buka, hanya alibi agar Azzam mendekatinya saja. Dan sesaat sebelum pria itu beranjak, Jasmine memeluk erat punggungnya, membuat Azzam mau tak mau kembali terduduk memunggungi gadisnya.

“Jasmine saya masih banyak kerjaan,”

“Rehat dulu, Kak, jangan terlalu di forsir, nanti ujung-ujungnya malah sakit. Telat sehari emang gak boleh? Kan Kakak selama ini jadi karyawan yang rajin.”

“Iya. Tapi mood saya lagi kurang bagus. Maaf, ya, tolong lepas dulu.”

“Nggak.” Semakin Azzam menolak, semakin Jasmine memeluknya erat.


image


“Kakak kalo marah sama aku bilang aja, marah aja, jangan diem kayak gini.”

“Saya lagi capek aja,” lelaki itu pasrah, membiarkan Jasmine bertengger di punggungnya.

“Aku, 'kan udah bilang, Kak, kalo Kakak capek istirahat, jangan paksa buat kerjain semuanya sekaligus. Kakak kalo aku bilangin kan nggak mau denger, aku bilang jangan cuci baju tetep cuci juga, aku bilang jangan ngepel tetep ngepel juga. Aku tau Kakak mau bantu aku, tapi Kakak juga kan punya kerjaan, Kakak juga kan capek. Kita itu menikah karena mau sama-sama, kan? Kita capeknya sama-sama. Ngurus rumah sama-sama, ngurus Abizar sama Shereen sama-sama, Kakak nggak akan pernah bisa lakuin itu sendiri. Kita itu saling membutuhkan, Kak...”

Ya. Katakanlah Azzam itu terlalu peduli hingga ia tak ingin melihat Jasmine lelah sedikitpun. Tetapi jika terus begitu pasti ia juga yang akan ambruk.

Jasmine tahu betul prianya itu bukanlah seorang konglomerat atau bos yang hanya goyang-goyang kaki tetapi menghasilkan banyak uang. Azzam ada laki-laki pekerja keras, pekerjaannya menguras tenaga, pikiran dan juga kesabaran. Karena selain menjadi guru di berbagai tempat, lalu menjadi imam di berbagai Masjid, kini ia merangkak menjadi translator bahasa Arab.

Akhirnya Azzam membalikkan tubuhnya agar menghadap pada Jasmine. Ia menunjukkan senyumnya. Senyum yang palsu.

Dengan menatap lekat kedua netra lawan bicaranya, Jasmine dapat mengetahui isi hatinya. Lantas gadis itu memegang rahang tegas pria itu seraya mengatakan, “Kakak nggak baik-baik aja.”

Runtuh sudah benteng pertahanan Azzam. Sudut matanya berair. Hingga saat Jasmine menarik tubuhnya, lelaki itu terjatuh ke dalam pelukan hangat yang selalu menjadi candu baginya.

“It's okay to not be okay, Kak...”

“Maaf... maaf saya jadi keliatan payah di depan kamu,”

“Aku nggak pernah nuntut Kakak buat selalu keliatan kuat. Sesekali nangis nggak apa-apa kok.”

“Kemarin, saya cemburu. Saya cemburu sama cara tetangga baru itu natap kamu, jelas banget dia suka sama kamu.”

“Dia udah beristri, Kak, mana mungkin suka sama aku?”

“Itu bisa aja terjadi, apalagi kamu cantik. Saya juga laki-laki, saya tau makna tersirat dari tatapannya itu, saya nggak suka...”

Jasmine mengelus kepala Azzam layaknya mengelus kepala bayi, menyalurkan rasa nyaman untuknya. Entahlah mengapa suaminya itu begitu menggemaskan kala cemburu. Dia duduk dengan tegap, sembari menatap kedua bola mata Jasmine yang berbinar, mata Azzam kian berbinar demikian.

“Mau apa, Kak? Istirahat dulu yuk? Aku tadi bikin brownies, sekalian aku bikinin teh madu ya?”

“Brownies?” raut masam pria itu sirna, berganti dengan wajah sumringah. Ini semua karena Azzam mendengar kata *'brownies'. Iya, dia begitu menyukai brownies, terlebih lagi brownies buatan Umi. Tetapi kini posisi Umi hampir tergeser dengan brownies buatan Jasmine yang tak kalah enaknya.

“Iyaaa, makanya jangan cemberut terus. Mau gak?”

Sedetik kemudian Azzam menghujani wajah Jasmine dengan kecupan-kecupan ringan sebagai tanda terimakasih.

“Makasih, ya. Aku sayang banget sama kamu.”

“KAK?! COBA ULANG?!”

“Aku sayang banget sama kamu.”


Malam yang dingin itu masih ada dua insan yang belum tertidur. Mereka berdua bersembunyi di balik selimut dengan Azzam yang masih mengerjakan tugasnya—ditemani Jasmine dan beberapa potong brownies sisa tadi.

Kedinginan di kala hujan itu tidak terasa karena hanya bersama Jasmine saja tubuh dah hatinya menghangat seketika.

Hingga pukul 1 malam, semua sisa tugas Azzam berhasil ia selesaikan dengan mudah. Coba saja jika Jasmine tak mengajaknya untuk berbaikan, sudah pasti ia akan mengerjakan tugas sendirian, tidak bersemangat dan juga mungkin tugasnya itu tidak akan usai malam ini.

Seperti biasa, sebelum tidur mereka akan saling memberikan salam pengantar tidur bergantian.

“Terimakasih karena sudah bekerja keras, ya, Kak?”

“Terimakasih juga karena kamu selalu ada di samping saya, Jasmine. Semoga akan terus begini, sampai hari tua nanti, ya?”


© Jupiter Lee