Perempuan Saya

CW // KISS ⚠️ Ayo setel lagu req nya biar makin ahsjaksjdagshhshdjldl

LELAKI itu memberikan ponselnya pada Jasmine secara tiba-tiba sampai gadis itu mengerutkan keningnya.

“Kenapa?”

“Kamu aja yang bales,”

Jasmine bingung, “bales apa?”

“Liat aja.” Gadis itu menggulirkan pesannya dari atas sampai bawah. Bahunya naik turun karena kesal. Ia langsung membanting ponsel Azzam ke atas kasur.

“KOK SI NENEK SIHIR MASIH NGECHAT, SIH?!”

Azzam memegang kedua pundak Jasmine, mengelus nya kemudian membiarkan gadis itu bersandar di bahu nya.

“Saya nggak tau itu Sarah mana, soalnya dia nggak ngasih tau nama lengkap.”

“Tapi tetep aja dia juga nyebelin! Maksudnya apa ngechat kayak gitu? Dia nggak tau apa kalo aku udah ngamuk itu mobil juga bisa aku angkat pake jari!”

Azzam membiarkan gadis itu meluapkan emosinya, sedangkan tangan Azzam tak berhenti untuk mengelus surai hitam sebahu milik Jasmine. Lama kelamaan ia merasakan badan Jasmine bergetar dan terdengar suara isakkan tangis.

Sontak lelaki itu panik, “Jasmine? Hei? Kok nangis?” ia menundukkan kepalanya untuk melihat wajah gadis yang masih bersandar di bahu nya itu.

“Kak… kenapa banyak yang suka sama Kakak, ya? Aku takut… aku takut Kakak ninggalin aku,” tutur Jasmine dengan air matanya yang jatuh berderai.

Sore hari yang hujan deras disertai angin dan gemuruh itu sangat mendukung Jasmine untuk menangis. Ia semakin menenggelamkan kepalanya di bahu Azzam.

Melihat perubahan mood Jasmine yang ekstrem, juga wajah gadis itu seketika merah padam dengan pipi yang berjejak air mata Azzam langsung menangkup wajah Jasmine dan menghapus jejak air mata itu dengan ibu jarinya.

“Saya kaget kamu tiba-tiba nangis,”

Jasmine menurunkan tangan Azzam dari pipi nya. Ia menggenggam jemari sang lelaki, mengepal juga mencengkramnya.

“Sebenernya aku itu gampang cemburu, Kak, dari awal Sarah yang ketemu Kakak aja aku udah cemburu banget. Aku udah nahan buat nggak nangis, tapi gak bisa...”

Lalu ia memunggungi Azzam karena malu wajahnya basah kuyup dengan air mata. Ini kali pertama Jasmine menangis di depan orang lain, biasanya ia akan mengunci diri di kamar jika hendak menangis. “Sebentar, aku malu.”

Tanpa basa-basi, Azzam merengkuh tubuh kecil itu dari belakang, “kamu boleh keliatan kuat di depan orang banyak, tapi kamu nggak harus keliatan kuat di depan saya. Kalo kamu mau nangis, nggak masalah.”

“Aku cuma tiba-tiba kepikiran, Kakak itu bisa di bilang hampir sempurna buat jadi pasangan, banyak banget perempuan yang suka sama Kakak. Aku nggak bisa mencegah mereka buat nggak suka sama Kakak, karena jujur, kalo aku ada di posisi mereka pun aku pasti suka juga sama Kakak, tapi beberapa dari mereka itu nggak tau batasan dan seolah nggak mau tau kalo Kakak itu punya aku.”

“Kalo mereka nggak bisa ngejaga perasaan mereka. Biar saya yang jaga perasaan saya sendiri.”

“Gimana pun Kakak juga manusia, dan perasaan manusia bisa aja berubah-ubah. Aku takut kalo Kakak nanti berpaling hati.”

Azzam mengeratkan pelukannya, menciumi bahu Jasmine dari belakang dan menyandarkan kepalanya di sana.

*“Kamu denger sumpah saya waktu ijab kabul, 'kan? Disitu saya bersumpah di langit dan di bumi, Jasmine. Saya nggak cuma bersumpah di depan Ayah kamu tapi saya juga bersumpah di depan Allah bahwa saya mencintai kamu seutuhnya dan menjadikan kamu satu-satunya sampai nanti ke Surga.” Azzam menghela nafasnya sejenak untuk melanjutkan.

“Dari banyaknya perempuan di dunia ini, cuma kamu yang beda. Karena apa? Mereka perempuan biasa, sementara kamu perempuan saya.”

Jasmine semakin terisak. Rasa takut serta cemburu itu membuncah di dadanya.

“Hadap ke saya, mana, saya mau liat muka cantiknya.”

“Nggak mau, lagi jelek.”

Akhirnya terpaksa Azzam membalik tubuh itu menghadapnya. Azzam mengangkat dagu Jasmine dan berpura-pura seperti sedang mengamati wajah itu.

“Bohong, nih, cantik banget kayak gini? Oh mungkin ini bukan Jasmine kayaknya, ini bidadari, ya?”

Bualan ringan Azzam mengundang senyum Jasmine di sela-sela tangisnya.

“Nah, gitu, kan makin cantik. Kalo kayak gini terus saya bisa pusing.”

“Kak, ih, lebay banget.” Jasmine terkekeh masih dengan kedua netra yang bergenang air mata.

“Saya nggak ngelarang kamu nangis, tapi nanti kalo nangis harus bilang saya, ya? Biar saya temenin. Jangan nangis sendirian, saya mau kita nggak tertutup satu sama lain.”

“Iya, aku bakal lebih terbuka lagi, Kakak juga gitu, ya? Jangan ada yang disembunyiin, maupun sepele juga nggak apa-apa, aku bakal mau dengerin semua ceritanya.”

Seperti biasa, Azzam tersenyum meyakinkan. Tak menyia-nyiakan kesempatan lagi, lelaki itu menarik dagu wanita di depannya dan mendaratkan kecupan di bibir ranum sang gadis. Awalnya kecupan, namun lama kelamaan menjadi sebuah lumatan halus yang murni tanpa ada unsur nafsu di dalamnya.

“Jangan takut lagi, karena kamu lah pemilik cinta saya.”

Jasmine mengangguk percaya, kemudian mengusap wajahnya. “Ya udah, bentar lagi maghrib, aku atau Kakak duluan yang mandi?”

“Bareng.”

image


© Jupiter Lee