Lekas Sembuh, Papa.

Anna mengintip kedalam kamar Arman, menampakkan laki-laki itu sedang menggulung tubuhnya di dalam selimut.

“Papa...?”

Perlahan Arman menyembulkan kepalanya dan masih berupaya untuk tersenyum. “Baru pulang? Udah makan belum? Mau makan apa? Papa belum masak apa-apa, mau beli aja?”

Mendengar itu bibir Anna menekuk kebawah. Hatinya terenyuh akan ucapan sang Papa barusan.

“Papa sakit,”

“Nggak tuh?”

“Muka Papa pucet, badannya juga panas, jangan ngelak, Papa.”

Arman sudah tidak mampu untuk membohongi dirinya sendiri. Ia benar-benar kelelahan, tubuhnya sudah tidak sanggup.

“Sekarang Papa tiduran dulu, ya, Aku buatin bubur.”

“Nggak usah, Anna capek baru pulang sekolah, nanti aja, Papa nggak laper.”

“Tapi—”

Arman menarik tangan Anna untuk duduk di sebelahnya. Ia menggenggam tangan hangat itu dengan erat, sedangkan kedua matanya terpejam.

“Dulu kalo Papa sakit pasti pegangin tangan Mama kayak gini, abis itu sembuh deh.” Anna tidak menjawab hingga Arman melanjutkan kalimatnya, “ada cerita nggak tadi di sekolah ngapain aja?”

“Sama kayak hari-hari biasanya, cuma tadi ada Harun yang anter jemput.”

“Gitu, ya...” Perlahan suara Arman menghilang, Anna tahu Papa nya ini berpura-pura kuat di depannya.

“Lepas dulu, ya, Papa, Anna mau buat bubur nih,”

“Nggak mau... Jangan pergi, jangan kayak Mama... Papa gak mau ditinggal lagi... Papa gak mau sendiri...” Racau Arman dengan suhu tubuhnya yang semakin meningkat.

Tanpa memikirkan lagi Anna langsung menarik tangannya yang di genggam erat dengan sang Papa dan bergegas menuju dapur.

Gadis itu sering melihat Papa nya memasak bubur, sehingga ia tak perlu melihat tutorial dari YouTube.

Sembari menunggu buburnya matang, Anna merapikan rumahnya yang cukup berantakan karena sedari kemarin tak di bereskan. Ia juga masih memikirkan ucapan menyakitkan Neneknya tadi.

“Padahal gak apa-apa kok kalo Nenek benci sama aku, asalkan Nenek jangan benci sama Papa.”


Tok Tok Tok

“Papa? Anna masuk, ya?”

“Iya.” Sahut Arman dari dalam.

Disana Arman terbaring dengan dahi yang di kompres serta selimut yang hampir menutupi wajahnya.

“Papa... Ini buburnya makan dulu, ya? Nanti minum obat.”

“Nggak mau, Sahara, aku nggak mau makan.”

Anna menghela nafas panjang, lagi lagi nama Mama nya yang di sebut. Sejak tadi Arman terus meracau nama Sahara.

Tak ada lagi yang dapat Anna lakukan selain mengangkat paksa tubuh bongsor Arman, lalu menyandarkannya.

“Nih, aku suapin, aaaaaa

Arman tersenyum dan membuka mulut dengan kedua mata yang masih setia untuk tertutup.

“Enak.”

“Kalo enak makannya yang banyak, ya, Pa?”

“Iya,”

Akhirnya Arman mau menghabiskan bubur itu dan meminum obatnya. Kesadarannya perlahan pulih dan suhu tubuhnya menurun.

Anna merapikan lagi selimut Arman dan berniat untuk meninggalkan sang Papa beristirahat.

“Sekarang Papa tidur, biar besok sembuh.”

“Anna,”

“Kenapa, Pa? Ada yang sakit lagi?”

“Nggak ada,”

“Terus kenapa?”

“Anna gak ninggalin Papa, kan?”

Anna mengerutkan dahinya, “kok tiba-tiba tanya gitu? Nggak akan, Anna disini, buat Papa.”

Lagi. Arman meraih tangan mungil Anna dan membawa tangan itu kedalam dekapannya.

“Janji jangan tinggalin Papa, ya? Kalo Anna pergi nanti Papa sakit. Sekarang aja ada Anna Papa masih sakit, apalagi kalo Anna pergi.”

“Iya, Papa, Anna nggak pergi, Anna temenin Papa sampe tidur, ya.”

“Jangan sampe tidur aja, sampe selamaaaaanya, Anna harus di samping Papa selamanya.”

Enggan membuat Arman semakin banyak bicara yang nanti akan mengurangi waktu istirahatnya, Anna pun langsung mengiyakan apapun yang di minta dengan Papa nya sekarang.

Dengan begitu Arman tertidur dengan jemarinya yang bertautan dengan jemari gadis semata wayangnya. Setelah di rasa Arman tertidur cukup pulas, Anna bangkit untuk tidur di kamarnya.

Ia mengusap keringat yang memenuhi lelaki 38 tahun itu.

“Lekas sembuh, Papa.”


© Jupiter Lee