bblueplanet

image


Sabtu pagi selalu menjadi hari yang paling dinanti. Selepas sibuk dari Senin ke Jumat, Sabtu dan Minggu adalah waktu terbaik untuk melepas penat. Biasanya Azzam dan Jasmine akan menghabiskan hari libur mereka di rumah, membuat piknik kecil atau menonton film bersama. Tapi Sabtu kali ini mereka berniat untuk menikmati libur di luar mengingat si kembar tak pernah dibawa pergi jauh.

“Jadi mau beli tanaman, 'kan?” Azzam bertanya sekaligus meraih selembar tisu yang tersedia di atas meja.

“Harus jadi,” jawab Jasmine bersemangat.

“Udah selesai makannya? Atau mau pesen lagi?”

Jasmine spontan menggeleng. “Nggak, ah.”

Azzam tersenyum tipis sembari mengusap pelan sudut bibir Jasmine yang menyisakan cokelat. Lantas Azzam berdiri dari duduknya menuju kasir. Jasmine diam-diam memperhatikan punggung tegap Azzam dari belakang, ia juga melihat beberapa pengunjung restoran ini memusatkan pandangan pada lelakinya. Terkadang Jasmine cemburu, Azzam yang terlihat seperti masih mahasiswa semester pertama itu selalu membuat banyak gadis-gadis dengan mudah melirik dan tertarik.

“Jasmine?”

“Eh? Iya?” Jasmine tersadar dari lamunan singkatnya.

“Ayo, nanti makin sore,” ajak Azzam dengan mengulurkan tangan kekarnya pada Jasmine.

Tapi karena Jasmine malu, ia meminta Azzam agar berjalan lebih dulu tanpa harus menggenggam tangannya. Omong-omong, mereka pergi bersama Abizar dan juga Shereen. Jasmine menggendong Shereen, sedangkan Azzam menggendong Abizar. Kembar itu semakin bertambah usia semakin bertambah pula berat badannya, kalau Jasmine yang menggendong dua-duanya sendiri pasti esoknya ia akan memanggil tukang pijat pribadi.

“Di mana yang jual tanaman hias?” Azzam mengedarkan pandangan ke tiap-tiap sudut kota.

“Deket pertigaan sana.”

“Yah, macet. Mau jalan kaki aja? Mobilnya biarin parkir di sini, jauh nggak tempatnya?”

“Nggak, kok.”

“Mau jalan?”

Pada akhirnya mereka berjalan beriringan di tengah pusat kota yang ramai luar biasa. Desas-desus jalan raya, suara klakson yang mengudara, riuh suara para penjual kaki lima serta gema melodi yang entah datang dari mana bersatu padu menciptakan dengungan yang memekakkan telinga. Azzam tak membiarkan Jasmine berjalan di pinggir trotoar karena khawatir ada tangan-tangan jahil yang bisa saja melukai perempuannya.

“Jasmine capek nggak?”

“Kalo aku bilang capek emang kamu mau gendong?” Jasmine membalas dengan mimik wajah meledek.

Hold my hand in the street,” ucap Azzam bersama dengan uluran tangannya yang kedua kali. “Soalnya kalo hilang nggak ada gantinya.”

“Kalo hilang, cari Jasmine yang lain, kan ada banyaaak.”

“Ya. Mungkin ada jutaan Jasmine di luar sana, tapi saya maunya Jasmine yang ini. Cuma ini. Hanya ini.”

Sontak Jasmine memalingkan wajah karena takut kelihatan salah tingkah, tangan Azzam pun ia biarkan menggantung di udara tanpa mau menggenggamnya. Bukan apa-apa, Jasmine malu karena sepanjang trotoar ini pandangan orang-orang tertuju padanya. Namun Azzam tak pernah pedulikan itu, bahkan jika ada sejuta pasang mata yang menghujamkan lirikan padanya dan Jasmine, ia tak akan merasa malu untuk menggenggam Jasmine atau bahkan jika perlu Azzam akan berteriak sekeras mungkin untuk mengakui perempuan yang ia genggam ini miliknya.

“Kenapa?”

Jasmine menjawab, “Nanti orang-orang bilang, ih udah punya anak dua masih gandengan tangan, gitu.”

Sejenak tertawa, Azzam langsung meraih jemari Jasmine dan mengayunkannya tanpa ada rasa ragu dan malu. Tak peduli bagaimana orang lain menilai, Azzam hanya ingin Jasmine tahu bahwa ia begitu menyayanginya dan tak pernah bosan untuk terus menunjukkan itu.

“Kak Azzam?”

“Apalagi? Masih malu?”

“Itu..., tokonya kelewatan,” bisik Jasmine pelan.

Keduanya tertawa bersamaan, memburamkan lingkungan sekitar seakan dunia hanya berfokus pada keduanya.


© Jupiter Lee

image


Cahaya jingga di bagian Barat telah padam seutuhnya. Langit yang semula cerah berganti gelap gulita. Jalan raya semakin dipadatkan dengan orang-orang yang baru menyelesaikan aktivitasnya, Azzam salah satu orang yang berada di dalam padatnya pusat kota. Lelaki itu menoleh ke sana dan ke mari seolah sedang mencari sesuatu yang istimewa. Sampai akhirnya sorot mata Azzam terpaku pada sebuah toko yang bernuansa merah muda dengan banyak hiasan pita di tiap sudut temboknya.

“Beliin kue aja mungkin, ya?” Azzam bermonolog.

Kemudian lelaki itu memarkirkan mobilnya dan bergegas menghampiri etalase bening yang menampakkan jejeran kue-kue cantik nan menggiurkan lidah.

“Mbak, pilihan rasa kue terbaik di sini ada apa aja?”

“Ada Triple Chocolate Cake, Tiramisu, Opera Classic, Matcha, Strawberry Cheesecake, Greentea, Caramel, dan Red Velvet,” jawab si pegawai toko.

Azzam kembali melirik etalase sambil menimang-nimang. Akhirnya ia memilih Triple Chocolate untuk dihadiahi pada Jasmine. Azzam juga tak segan untuk meminta kue tersebut diberikan hiasan berupa kata-kata di atasnya. Usai membayar, Azzam segera untuk pulang, beruntung kondisi jalan raya lancar meski masih dipenuhi dengan banyak kendaraan roda empat dan roda dua.

Tanpa waktu lama, rumah sudah terlihat di pelupuk mata, lekas hati Azzam langsung berbunga-bunga. Baginya, bertemu Jasmine adalah pelepas penat terbaik setelah melewati hari-hari yang sulit.

Assalamu'alaikum, Jasmine?”

Wa'alaikumussalam. Sebentar, Kak!” sahut Jasmine dari arah dapur.

Perempuan itu sibuk menata makanan ke atas meja makan sampai bulir keringat memenuhi pelipisnya, padahal Jasmine baru saja mandi satu jam yang lalu. Polesan bedaknya pun terlihat luntur, akan tetapi lunturnya bedak itu tak mampu membawa cantiknya wajah Jasmine. Bergegaslah ia menghapus peluh dengan tisu dan berjalan pontang-panting menghampiri Azzam.

“Pucet banget, belum makan, ya?” tanya Azzam seraya mengusap pelan pucuk kepala Jasmine.

Selang beberapa detik, Azzam memberikan sebuah kantong berisi kue yang tadi ia beli pada Jasmine. Awalnya Jasmine sempat keheranan, tapi begitu ia buka isi kantong itu hatinya mendadak terenyuh, apalagi melihat ukiran kata-kata yang menghiasi atasnya.

'Untuk Humaira-nya Azzam yang paling hebat, gimana hari-harinya?'

Spontan Jasmine terkekeh sambil menitikkan air mata. Dipeluknya tubuh bongsor Azzam dengan erat, sementara Azzam langsung melingkarkan tangannya di bahu Jasmine seakan sedang saling mentransfer energi.

“Makasih, ya,” ucap Jasmine sembari merenggangkan pelukannya. “Ya udah, makan dulu, yuk?”

Azzam merangkul bahu Jasmine lagi, berjalan bersamaan menuju meja makan, sorot matanya fokus pada sup jamur yang terpampang di tengah sana. Semangkuk sup panas itu seperti memanggil-manggil perutnya yang kosong. Azzam langsung menduduki salah satu kursi dengan senyum manisnya yang mengembang.

“Maaf, ya, Kak, sup-nya masih panas banget, baru mateng soalnya.”

“Loh, gak apa-apa, justru enak masih panas,” timpal Azzam agar Jasmine tak merasa bersalah.

Lalu Azzam segera menyantap makan malam yang sudah Jasmine hidangkan dengan perasaan yang kembali berbunga-bunga. Rasanya begitu sempurna, makan dengan makanan yang paling disuka dan ditemani dengan seseorang yang paling dicinta. Wajah Azzam boleh terlihat biasa-biasa saja, tapi perasaannya seperti bisa meledak kapan saja.

Begitu makanan sudah ia habisi, Azzam bangun dari kursi yang ia duduki dan berpindah ke sebelah kursi Jasmine karena sebelumnya mereka duduk berhadapan.

“Apa?” Jasmine mengernyitkan dahi.

“Hari ini gimana?”

“Gak gimana-gimana, cuma capek aja.”

“Capeknya berapa persen?”

“Hmm..., 70 persen,” kata Jasmine.

“Berarti butuh peluk 70 persen juga supaya energinya pulih 100 persen.”

“Jadi?”

“Jadi, sini peluk.” Azzam langsung merentangkan tangan dan siap menerima jatuhnya Jasmine ke dalam pelukannya.

Dengan senang hati Jasmine memeluk Azzam lagi. Dua insan yang sama-sama lelah itu seakan menjadi charger bagi satu sama lain. Azzam menyandarkan kepalanya sambil mengendus aroma mint dari rambut Jasmine.

“Ngomong-ngomong, sup jamurnya enak,” Azzam berucap di sela-sela keheningan.

“Besok mau makan malam pake ini lagi?”

Tanpa melepas pelukannya, Azzam sedikit memundurkan wajah agar bisa berhadapan dengan Jasmine. Dan tanpa aba-aba apapun, lelaki itu dengan cepat mengecup pipi perempuannya disusul dengan suara kekehan.

“Mau.”

“Mau pake sup jamur atau olahan jam—”

“Mau kamu.”


© Jupiter Lee

image


Pagi ini tak terdengar rewelnya Jasmine, perempuan itu sejak kemarin sore sedang kelelahan akibat ulah si kembar yang akhir-akhir ini sangat menguras tenaganya. Tetapi, Azzam juga yang menjadi sasaran pelampiasan rasa lelah itu.

Jasmine hanya memasak nasi goreng untuk sarapan pagi ini. Ia sungguh tak berselera untuk membuat sarapan macam-macam. Untung saja Azzam tidak pernah meributkan persoalan menu di meja makan, apa pun yang Jasmine hidangkan, pasti akan Azzam makan dengan penuh rasa riang.

Rasanya untuk sarapan kali ini, Azzam sedikit tak nyaman menguyah, sebabnya adalah nasi goreng buatan Jasmine terasa begitu asin sampai lidahnya hampir kebas. Ingin protes tapi tak tega melihat wajah lelah Jasmine yang sedang melamun di depannya. Jasmine belum merasakan nasi goreng itu, hanya memperhatikan tanpa niat menyentuhnya.

“Kenapa, hm?”

Jasmine menggeleng pelan. “Gak apa-apa, Kak.”

Lantas Jasmine mendekatkan piring yang berisi nasi goreng asin itu ke arahnya dan mulai menyendok ke dalam mulut. Begitu ia kunyah, kedua bola matanya membulat sempurna, Jasmine memuntahkan isi mulutnya ke dalam tisu dengan alis yang menukik tajam.

“Ini asin banget, kakak habisin nasi gorengnya?!” Jasmine panik sendiri, padahal Azzam sudah memasang wajah setenang mungkin.

Jasmine bersama perasaan tidak enaknya langsung menarik piring Azzam dan meminta maaf padanya berkali-kali, Jasmine juga berjanji akan membuatkan sarapan yang baru. Namun Azzam menahan gerak Jasmine dan meminta perempuan itu untuk tetap duduk manis.

“Nggak perlu, ini enak,” ucapnya terlihat dengan penuh kesungguhan.

“Aku buatin yang baru mau?” khawatir terlihat jelas pada raut wajah Jasmine.

Kalau saja ia bisa melawan tenaga Azzam yang mencengkram bahunya, pasti Jasmine sekarang sudah kembali berada di dapur. Sayangnya Azzam tak membiarkan Jasmine untuk beranjak kemana pun. Lelaki itu justru berdiri untuk menghampiri Jasmine dan mengecup singkat keningnya.

“Saya berangkat, ya. Habis ini jangan lupa istirahat, kalo capek gak apa-apa jangan dipaksa, oke?”

“Maaf, ya, Ka—“ ucapan Jasmine terpotong kala Azzam menaruh jari telunjuk ke depan mulutnya.

“Sssttt, kalo saya bilang nggak perlu, berarti nggak perlu, sayang…,”

Pada akhirnya Jasmine menuruti ucapan Azzam dengan rasa bersalah yang merekah di dalam dadanya. Sejujurnya Azzam tak masalah sama sekali, ia mengerti Jasmine tak sengaja melakukannya. Belakangan ini Azzam perhatikan Jasmine selalu tidak fokus, banyak melamun, dan mudah mengantuk. Azzam juga tak memiliki banyak waktu untuk berbicara berdua lantaran hari-harinya yang juga sibuk.

“Ada masalah apa?” pertanyaan Azzam jelas memancing air mata Jasmine untuk keluar.

Jasmine hanya mampu menggelengkan kepala lagi, kedua bibirnya yang bergetar berusaha menahan isak tangis yang tertahan di kerongkongan. Azzam tersenyum bersamaan dengan embusan nafas yang mengalir ke udara, menyuarakan batinnya yang khawatir pada Jasmine. Seolah otomatis, tangan Azzam terulur untuk merangkul bahu Jasmine, kepalanya sedikit merunduk untuk melihat wajah cantik perempuannya.

“Mau nangis dulu atau mau cerita dulu? Atau mau langsung peluk aja?”

Mendadak suasana hati Jasmine berubah menjadi penuh bunga-bunga.


© Jupiter Lee


Klik listen in browser, yaa!

Coboy Junior 3 · AFGAN – BAWALAH CINTAKU


Malam tak sedamai sebelum-sebelumnya, kali ini kegelapan ditemani dengan gemuruh yang bergema di langit, menyambarkan kilat cahaya yang menakutkan, riuh angin yang saling menabrak dedaunan juga menimbulkan rasa gelisah di hati. Kemudian, rinai hujan yang tak terhitung jumlahnya perlahan turun ke tanah bumi dan menciptakan hawa dingin yang menggerogot nadi.

Di sana Jasmine sedang menangis sejadi-jadinya, di tengah jalan yang hanya diramaikan dengan titik demi titik hujan. Jasmine merasa kelelahan karena sudah berlari ratusan meter hanya untuk mengejar Azzam yang hendak pergi.

“KAK AZZAM!” Jasmine berteriak sekencang mungkin dengan sisa tenaga yang ia punya.

Seolah tuli, Azzam berjalan tanpa menoleh barang sedetik. Laki-laki itu tampak bersahabat dengan hujan, terlihat dia berjalan dengan tempo langkah yang lambat. Meskipun lambat, entah mengapa Jasmine tak mampu untuk mengejar.

“KAK AZZAM!” Lagi-lagi Azzam masih enggan menoleh.

Jasmine berdiri dan berlari sekencang mungkin, menerobos hujan lebat yang membuat sekujur tubuhnya basah kuyup. Jasmine tak peduli sama sekali, yang ia pikirkan hanyalah bagaimana cara untuk mencegah Azzam yang semakin lama semakin bergerak menjauhinya.

Dengan derap langkah yang berlari tanpa henti, Jasmine berhasil berdiri tepat di belakang Azzam. Nafasnya yang terengah-engah membuat Azzam menoleh padanya dengan senyum hangat yang sudah lama tak ia lihat. Kemudian Jasmine ikut menarik sisi kanan dan kiri bibirnya membentuk lekukkan senyum manis sebagai balasan untuk senyum pria tampan di hadapannya.

“Kak, jangan pergi...,” pinta Jasmine dengan nada yang sangat memohon.

Bahkan, saat senyum Jasmine memudar, Azzam masih tetap mempertahankan senyumnya tanpa berbicara apa-apa. Jasmine berlutut sambil menangis, meminta Azzam tak lagi berniat pergi. Tapi, kala itu Azzam langsung memintanya untuk bangkit dan berdiri dengan tegak. Diusapnya pipi merah Jasmine yang basah dan dingin kemudian mengecupnya sekilas sebelum pada akhirnya Azzam berbalik badan dan berjalan lagi.

Jasmine menatapnya dengan sorot mata yang teriris-iris, ia tak dapat lagi mengejar Azzam karena kaki nya mendadak kaku untuk bergerak. Ia lihat Azzam tak basah sama sekali meskipun berjalan di tengah hujan lebat seperti ini, Jasmine hanya bisa menangis dan menangis. Haruskah Azzam meninggalkannya di tengah gelapnya malam yang diguyur hujan ini sendirian?

Semakin tangis Jasmine menjadi-jadi kala tubuh bongsor Azzam perlahan lenyap dilahap dengan kegelapan yang berada di ujung jalan sana.

“KAK AZZAM!!!” Jasmine benar-benar hampir membuat pita suaranya putus karena terlalu kencang berteriak.

Detik itu, matanya yang terpejam mendadak terbuka. Jasmine menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih, pandangannya beredar pada tiap-tiap sudut ruangan yang masih sama dan tidak ada yang berubah sama sekali. Objek terakhir yang Jasmine lihat adalah sosok Azzam yang tengah berbaring di sebelahnya. Azzam sedang tertidur pulas dengan kaos putih yang semalam ia kenakan.

Lantas, Jasmine langsung memeluk Azzam tanpa ragu, memeluknya erat dengan air mata yang jatuh berderai. Terdengar jelas suara degup jantung Azzam yang membuatnya bernafas lega setelah sebongkah batu seolah-olah menekan dadanya sampai sesak.

“Hei, kenapa?”

Suara serak nan parau Azzam langsung membuat Jasmine mendongak untuk melihat wajahnya. Lelaki itu menatap Jasmine heran, pasalnya tiba-tiba Jasmine menangis sesenggukan di pukul satu pagi seperti ini.

“Kenapa, sayang?”

Bukannya menjawab, Jasmine justru menangis lagi, semakin menukik alis Azzam dibuatnya. Lalu, Azzam mengangkat paksa kepala Jasmine hanya untuk melihat lebih jelas wajahnya.

“Kenapa? Kok nangis gini, hm?” Tanya Azzam sembari menangkup wajah Jasmine dengan telapak tangannya yang besar.

“Aku barusan mimpi kamu pergi, aku udah kejar tapi kamu semakin ngejauh. Padahal di sana gelap, kenapa kamu malah ke sana, Kak?”

Azzam tak mengerti sama sekali, yang ia tahu ini hanyalah mimpi Jasmine yang membuat perempuan itu sesenggukan begini. Maka Azzam langsung membawa Jasmine ke dada nya seraya merengkuh dengan erat. Usapan demi usapan Azzam berikan di punggung Jasmine, berharap ia tenang dan kembali untuk tidur.

“Jangan..., jangan pergi....”

“Siapa? Siapa yang mau pergi? Nggak ada, Jasmine. Saya dari tadi di sebelah kamu, nggak kemana-mana,” jelas Azzam namun tak dapat dimengerti oleh Jasmine.

“Kak, aku gak mau tidur, nanti Kakak pergi lagi. Aku capek ngejarnya, di sana gelap, sepi, dingin, aku nggak mau lagi....”

Azzam terkekeh ringan sebelum ia memilih untuk memeluk Jasmine lebih erat, mengecup pucuk kepalanya berulang kali dan mengusap punggungnya tanpa henti. Padahal akhirnya, Azzam juga ikut menangis, ia tak sadar titik air jatuh dari sudut pelupuk mata. Melihat Jasmine menangis hanya karena mimpi dirinya pergi, Azzam selalu takut kenyataan benar-benar memintanya demikian, ia tak sanggup membayangkan jika Jasmine harus menangis sepanjang hari hanya karena kepergiannya.

Siapa yang nanti memeluk perempuan saya?

Siapa yang nanti menghapus air matanya?

Siapa yang nanti menemani kesepiannya?

Siapa yang nanti menjadi alasan senyumnya?

Kalau begini, Azzam bisa ikut menangis sesenggukan. Dengan cepat Azzam hapus air mata yang sedari tadi turun membasahi kulit wajahnya, kemudian memeluk Jasmine lagi.

“Jasmine, setiap yang datang pasti akan pergi, mau nggak mau, siap nggak siap, kita harus selalu siap dengan itu semua. Kita nggak pernah tahu umur ini sampai kapan, entah siapa di antara kita yang nanti akan pergi lebih dulu, entah kita akan pergi bersama, maut nggak ada yang tahu.”

“Kak, jangan gitu....”

“Udah nangisnya, ya? Sekarang, 'kan, saya nggak pergi, masih di sini, di sebelah kamu. Semoga akan terus begini sampai tangan halus yang sekarang saya genggam keriput, sampai rambut yang hitam ini memutih, dan sampai mata yang lentik ini layu. Menua bersama kamu termasuk do'a saya, karena pada saat itu saya mau jadi satu-satunya orang yang menyebut kamu cantik. Selamanya cantik, dan selamanya selalu menjadi Humairah-nya Azzam.”


© Jupiter Lee


Ini bisa di play on browser, yaa!

Coboy Junior 3 · AFGAN – BAWALAH CINTAKU


Malam tak sedamai sebelum-sebelumnya, kali ini kegelapan ditemani dengan gemuruh yang bergema di langit, menyambarkan kilat cahaya yang menakutkan, riuh angin yang saling menabrak dedaunan juga menimbulkan rasa gelisah di hati. Kemudian, rinai hujan yang tak terhitung jumlahnya perlahan turun ke tanah bumi dan menciptakan hawa dingin yang menggerogot nadi.

Di sana Jasmine sedang menangis sejadi-jadinya, di tengah jalan yang hanya diramaikan dengan titik demi titik hujan. Jasmine merasa kelelahan karena sudah berlari ratusan meter hanya untuk mengejar Azzam yang hendak pergi.

“KAK AZZAM!” Jasmine berteriak sekencang mungkin dengan sisa tenaga yang ia punya.

Seolah tuli, Azzam berjalan tanpa menoleh barang sedetik. Laki-laki itu tampak bersahabat dengan hujan, terlihat dia berjalan dengan tempo langkah yang lambat. Meskipun lambat, entah mengapa Jasmine tak mampu untuk mengejar.

“KAK AZZAM!” Lagi-lagi Azzam masih enggan menoleh.

Jasmine berdiri dan berlari sekencang mungkin, menerobos hujan lebat yang membuat sekujur tubuhnya basah kuyup. Jasmine tak peduli sama sekali, yang ia pikirkan hanyalah bagaimana cara untuk mencegah Azzam yang semakin lama semakin bergerak menjauhinya.

Dengan derap langkah yang berlari tanpa henti, Jasmine berhasil berdiri tepat di belakang Azzam. Nafasnya yang terengah-engah membuat Azzam menoleh padanya dengan senyum hangat yang sudah lama tak ia lihat. Kemudian Jasmine ikut menarik sisi kanan dan kiri bibirnya membentuk lekukkan senyum manis sebagai balasan untuk senyum pria tampan di hadapannya.

“Kak, jangan pergi...,” pinta Jasmine dengan nada yang sangat memohon.

Bahkan, saat senyum Jasmine memudar, Azzam masih tetap mempertahankan senyumnya tanpa berbicara apa-apa. Jasmine berlutut sambil menangis, meminta Azzam tak lagi berniat pergi. Tapi, kala itu Azzam langsung memintanya untuk bangkit dan berdiri dengan tegak. Diusapnya pipi merah Jasmine yang basah dan dingin kemudian mengecupnya sekilas sebelum pada akhirnya Azzam berbalik badan dan berjalan lagi.

Jasmine menatapnya dengan sorot mata yang teriris-iris, ia tak dapat lagi mengejar Azzam karena kaki nya mendadak kaku untuk bergerak. Ia lihat Azzam tak basah sama sekali meskipun berjalan di tengah hujan lebat seperti ini, Jasmine hanya bisa menangis dan menangis. Haruskah Azzam meninggalkannya di tengah gelapnya malam yang diguyur hujan ini sendirian?

Semakin tangis Jasmine menjadi-jadi kala tubuh bongsor Azzam perlahan lenyap dilahap dengan kegelapan yang berada di ujung jalan sana.

“KAK AZZAM!!!” Jasmine benar-benar hampir membuat pita suaranya putus karena terlalu kencang berteriak.

Detik itu, matanya yang terpejam mendadak terbuka. Jasmine menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih, pandangannya beredar pada tiap-tiap sudut ruangan yang masih sama dan tidak ada yang berubah sama sekali. Objek terakhir yang Jasmine lihat adalah sosok Azzam yang tengah berbaring di sebelahnya. Azzam sedang tertidur pulas dengan kaos putih yang semalam ia kenakan.

Lantas, Jasmine langsung memeluk Azzam tanpa ragu, memeluknya erat dengan air mata yang jatuh berderai. Terdengar jelas suara degup jantung Azzam yang membuatnya bernafas lega setelah sebongkah batu seolah-olah menekan dadanya sampai sesak.

“Hei, kenapa?”

Suara serak nan parau Azzam langsung membuat Jasmine mendongak untuk melihat wajahnya. Lelaki itu menatap Jasmine heran, pasalnya tiba-tiba Jasmine menangis sesenggukan di pukul satu pagi seperti ini.

“Kenapa, sayang?”

Bukannya menjawab, Jasmine justru menangis lagi, semakin menukik alis Azzam dibuatnya. Lalu, Azzam mengangkat paksa kepala Jasmine hanya untuk melihat lebih jelas wajahnya.

“Kenapa? Kok nangis gini, hm?” Tanya Azzam sembari menangkup wajah Jasmine dengan telapak tangannya yang besar.

“Aku barusan mimpi kamu pergi, aku udah kejar tapi kamu semakin ngejauh. Padahal di sana gelap, kenapa kamu malah ke sana, Kak?”

Azzam tak mengerti sama sekali, yang ia tahu ini hanyalah mimpi Jasmine yang membuat perempuan itu sesenggukan begini. Maka Azzam langsung membawa Jasmine ke dada nya seraya merengkuh dengan erat. Usapan demi usapan Azzam berikan di punggung Jasmine, berharap ia tenang dan kembali untuk tidur.

“Jangan..., jangan pergi....”

“Siapa? Siapa yang mau pergi? Nggak ada, Jasmine. Saya dari tadi di sebelah kamu, nggak kemana-mana,” jelas Azzam namun tak dapat dimengerti oleh Jasmine.

“Kak, aku gak mau tidur, nanti Kakak pergi lagi. Aku capek ngejarnya, di sana gelap, sepi, dingin, aku nggak mau lagi....”

Azzam terkekeh ringan sebelum ia memilih untuk memeluk Jasmine lebih erat, mengecup pucuk kepalanya berulang kali dan mengusap punggungnya tanpa henti. Padahal akhirnya, Azzam juga ikut menangis, ia tak sadar titik air jatuh dari sudut pelupuk mata. Melihat Jasmine menangis hanya karena mimpi dirinya pergi, Azzam selalu takut kenyataan benar-benar memintanya demikian, ia tak sanggup membayangkan jika Jasmine harus menangis sepanjang hari hanya karena kepergiannya.

Siapa yang nanti memeluk perempuan saya?

Siapa yang nanti menghapus air matanya?

Siapa yang nanti menemani kesepiannya?

Siapa yang nanti menjadi alasan senyumnya?

Kalau begini, Azzam bisa ikut menangis sesenggukan. Dengan cepat Azzam hapus air mata yang sedari tadi turun membasahi kulit wajahnya, kemudian memeluk Jasmine lagi.

“Jasmine, setiap yang datang pasti akan pergi, mau nggak mau, siap nggak siap, kita harus selalu siap dengan itu semua. Kita nggak pernah tahu umur ini sampai kapan, entah siapa di antara kita yang nanti akan pergi lebih dulu, entah kita akan pergi bersama, maut nggak ada yang tahu.”

“Kak, jangan gitu....”

“Udah nangisnya, ya? Sekarang, 'kan, saya nggak pergi, masih di sini, di sebelah kamu. Semoga akan terus begini sampai tangan halus yang sekarang saya genggam keriput, sampai rambut yang hitam ini memutih, dan sampai mata yang lentik ini layu. Menua bersama kamu termasuk do'a saya, karena pada saat itu saya mau jadi satu-satunya orang yang menyebut kamu cantik. Selamanya cantik, dan selamanya selalu menjadi Humairah-nya Azzam.”


© Jupiter Lee


Haidar mencari letak kunci motornya dengan gerakan yang terburu-buru. Beberapa detik setelah Fatimah mengabarkan bahwa ia mengalami kecelakaan, Haidar langsung berjingkat ke sana dan ke mari. Sialnya kunci motor yang memiliki gantungan sebuah peluit itu mendadak hilang. Sebenarnya bukan hilang, hanya saja Haidar terlalu panik sampai tak bisa berpikir dengan tenang.

Kunci motor itu rupanya terselip di sofa, kalau saja ia tidak mengangkat bantal pasti tidak akan berjumpa. Lantas Haidar bergegas menuju tempat yang Fatimah sebutkan tadi dengan motornya yang melaju dengan sangat cepat, menerobos angin yang membuat rambut hitam kecoklatannya tersibak ke belakang.

Begitu sampai di tempat tujuan, Haidar tercekat melihat dahi Fatimah bercucuran darah, di sekelilingnya banyak sekali tisu yang juga bersimbah darah. Dengan langkah besarnya Haidar menggeser orang-orang yang pada saat itu mengelilingi Fatimah dan bersimpuh di hadapannya.

“Fatimah, kok bisa kayak gini?” nada bicara Haidar sangat gemetar. Tangannya bergerak untuk memastikan kondisi tubuh Fatimah yang lain.

“Tadi aku mau nyebrang, jalanannya udah sepi, tapi tiba-tiba ada motor dari tikungan situ, ngebut banget sampe aku nggak sempet ngehindar.”

“Sekarang ke mana yang nabraknya?”

Kemudian ada seorang pria yang kira-kira usianya 30 tahun ke atas, dia mengangkat tangan dan mengakui kesalahannya. Si pengendara itu mengaku tidak sengaja dan terkejut karena ada seorang gadis yang sedang menyebrang, ia juga mengatakan fokusnya sedang buyar sehingga tak sempat menarik tuas rem dan berujung kecelakaan. Malang tak dapat ditampik, Fatimah tertabrak dari belakang, menyeba kan luka paling parah ada di bagian dahi-nya.

“Maaf, Mas, saya betulan nggak sengaja, saya sendiri kaget jadi gak sempet nge-rem. Tapi saya bakal bertanggung jawab buat biaya klinik, kok.” Ujar pengendara tersebut.

Pria itu meraih tangan Haidar dan menyelipkan beberapa lembar uang dengan nominal tertinggi. “Diterima, ya, Mas. Kalau bisa langsung dibawa sekarang aja, soalnya itu udah parah juga.” Dengan begitu, Haidar langsung membawa Fatimah ke klinik terdekat menggunakan motornya.

“Kamu kuat, 'kan? Naik motor sama abang, ya?”

Fatimah hanya mengangguk lemas. “Iya, kuat.”

Kejadian sore ini cukup membuat Haidar dilanda rasa bersalah yang bertubi-tubi karena tidak seharusnya ia bersikap acuh begini. Dalam perjalan, Haidar hanya mampu merutuki kebodohan yang ia perbuat, sayup-sayup suara rintihan Fatimah di belakang membuatnya semakin tak sanggup menahan air yang sudah menggenang di pelupuk matanya.

“Pegangan.” Titah Haidar.

“Abang, aku minta maaf, ya?”

“Kok?”

“Aku jadi nyusahin abang.”

Haidar meraup udara sebanyak mungkin sebelum akhirnya menurunkan Fatimah di depan klinik. Haidar tak menanggapi kalimat terakhir yang Fatimah lontarkan. Ia langsung membawa masuk gadis itu ke dalam agar segera diberikan perawatan. Sementara Haidar sedang menghadap resepsionis di depan sana.

“Aku nggak mau dijahit...” rengek Fatimah, padahal lukanya cukup berpotensi untuk dijahit.

“Ikutin kata dokternya,”

“Nggak mau...”

“Abang temenin,”

Beberapa menit setelah perdebatan dengan Haidar, terpaksa Fatimah memberanikan diri untuk melihat jarum suntik bius yang sebentar lagi akan mendarat di permukaan dahi-nya, tajam menusuk kulit sampai akhirnya mati rasa untuk beberapa saat. Ia hanya merasa dahi-nya disentuh-sentuh, tanpa tahu sudah terjahit hingga tiga jahitan.

Sambil menunggu Fatimah, Haidar baru menyadari kalau ia belum mengabari apa pun pada Ummi karena kondisinya tadi sedang panik luar biasa. Tapi ia takut Ummi akan berlari sampai klinik tanpa kendaraan, karena Haidar tahu wanita tua itu sangat menyayangi Fatimah. Maka Haidar putuskan untuk memberitahu saat sudah tiba rumah.

“Maafin abang, ya? Maaf abang belum bisa jadi Bang Azzam buat kamu, maaf karena abang nggak sesempurna Bang Azzam yang selalu nunjukkin rasa sayangnya dan selalu peduli sama kamu. Tapi kalo boleh abang mohon, Fatimah harus percaya kalo abang juga sayang sama Fatimah.”


Langit semakin menggelap, bulir-bulir kepekatan mulai nampak di atas sana, kicau burung mencuit panjang di tengah keheningan. Haidar berjalan terhuyung-huyung ke arah Masjid dengan kain sarung yang tersampir di bahunya. Pikirannya terbelah-belah menjadi beberapa bagian, dan masing-masing bagian itu memikirkan hal yang berbeda. Pertama, Haidar merasa gagal dalam melindungi adik perempuannya. Kedua, Haidar memikirkan omelan dari Ummi dan Abi dan yang membuatnya semakin merasa bersalah. Yang terakhir, ini adalah bagian pikiran yang paling besar yang merampas habis ruang di dalam kepalanya, sejak tadi ia tahan karena harus mengutamakan kondisi Fatimah.

Haidar memikirkan sosok perempuan yang tadi memangku Fatimah di atas paha-nya. Perempuan bertudung biru tua dengan masker yang menutupi setengah wajahnya. Haidar mulanya tak berpikir apa pun, namun begitu mendengar suaranya, ia seperti mengenali dan tak asing sama sekali. Tapi kalau dilihat dari segi wajah, Haidar ragu untuk menebak karena wajahnya cukup asing, ditambah perempuan itu menggunakan kacamata dengan lensa yang sedikit gelap.

Apakah hanya dengan suara yang tidak asing ini bisa Haidar simpulkan bahwa perempuan itu adalah... Hanin?


© Jupiter Lee

image


Bisa sekalian dengerin musik ya!👇🏽

Coboy Junior 3 · AFGAN – BAWALAH CINTAKU


Suatu hari di tahun 2030.

Pagi itu fajar menyingsing merdu dengan kicauan burung yang terdengar samar-samar, ditemani sehembus angin yang menusuk sampai ke tulang rusuk, hawa sejuk embun menyelimuti raga, seakan meminta untuk direngkuh sampai fajar berganti senja.

Saya berhenti memandangi langit dari balik jendela dan berjalan terhuyung-huyung ke arah dapur. Terlihat ada perempuan yang sibuk menumis bumbu nasi goreng di sana. Sepertinya dia tak menyadari kehadiran saya, sebab fokusnya terpaku pada wajan yang berisikan lauk sarapan.

“Jasmine,”

Panggilan saya tak di dengar, atau memang Jasmine tidak mendengar. Akhirnya saya memilih untuk menghampiri Jasmine, memeluk tubuhnya dari belakang. Saat itu saya tahu Jasmine terkejut sekaligus berdebar, mungkin karena sudah lama sekali saya tidak memeluknya begini.

“Apa?”

“Mmm..., gak apa-apa.”

Jasmine tetap fokus pada masakannya dan tak memedulikan saya yang kini menyandarkan kepala di bahu kanannya. Aroma tubuh ini tak pernah berubah, masih sama seperti sepuluh tahun yang lalu.

“Mau apa, sih?” tanya Jasmine lebih tegas dari sebelumnya.

“Peluk aja gak boleh?”

“Malu, nanti anak-anak liat.”

Saya melirik nasi goreng yang sepertinya sudah matang. Lantas saya matikan kompor dan saya bawa Jasmine menuju kamar kembali.

Kami berdiri di depan jendela yang masih menunjukkan langit dengan semburat jingga yang pekat, membuat wajah Jasmine pada saat itu berkilau keemasan.

Cantik. Masih cantik. Entah memang cantiknya yang tak pernah pudar, atau cinta yang membuat Jasmine selalu sama setiap harinya.

Jika Jasmine memandangi langit di depannya, saya tidak, sebab pandangan saya terkunci pada wajahnya yang tak berubah sama sekali. Jernih obsidiannya, manis ranumnya, serta merah pipinya masih sama seperti Jasmine 10 tahun lalu.

“Kamu kenapa ngeliatinnya kayak gitu? Aneh banget dari tadi, abis mimpi apa, sih?”

Saya tertawa melihat salah tingkahnya. Kemudian saya tuntun pandangan Jasmine agar melirik kalender yang terpampang di atas meja. Kalender yang menunjukkan bahwa hari ini adalah hari pernikahan kami yang ke-10.

“Eh? Hari ini...”

“Selamat 10 tahun pernikahan, Jasmine. Maaf kalo selama ini saya banyak kurangnya. Harapan saya nggak pernah berubah, saya cuma mau kita bisa terus menikmati hari-hari bersama. Terima kasih karena mau bertahan, jangan pernah pergi, ya?”

Tubuh saya sedikit terdorong ke belakang saat Jasmine mendadak memeluk dengan erat. Isak tangisnya perlahan menggema di segala penjuru ruangan.

“Terima kasih juga karena mau bertahan sama aku yang keras kepala, aku yang bilangnya mau berubah padahal nggak. Maaf karena aku lebih banyak kurangnya.”

“Bukan manusia kalo nggak punya kekurangan. Selama nafas masih mengalir sampai nadi, kita masih punya kesempatan untuk lebih baik lagi, nggak ada kata terlambat untuk berubah. Saya mohon, jangan pernah lepas genggaman tangan saya, ayo sama-sama lengkapi kekurangan yang ada, ayo sama-sama perbaiki hubungan yang sempat dihiasi luka. Ya, Jasmine?”

Saya kembali memeluknya dengan sejuta harapan yang pagi itu saya semogakan. Mungkin, di mata orang lain, Jasmine hanyalah perempuan biasa yang tak memiliki kelebihan apa-apa.

Tapi di mata saya berbeda. Jasmine sungguh perempuan paling luar biasa yang pernah saya temukan setelah Ummi. Dari sifatnya yang terlihat keras kepala dan manja, Jasmine menyimpan banyak alasan yang membuat saya sebegitu jatuh cinta. Entah akan habis seberapa banyak botol tinta jika saya tuliskan tentangnya.

Ah, begini singkatnya.

“Ini Haura Jasmine, perempuan saya, selamanya.”

Lamunan yang khusyuk mendadak buyar saat Jasmine melepas pelukan ini. Perlahan mata nya menyipit membentuk bulan sabit, dengan ranumnya yang terukir manis.

“Kak, janji kalo aku perempuan terakhir dihidup kamu, ya?”

“Sekali Jasmine, selamanya Jasmine.”

image


Floko · Yiruma – Kiss The Rain (Piano Cover)


17 Juli 2017

Angin pada malam itu berhembus kencang hingga rambut hitam kecoklatan Dewa tersibak ke belakang. Ia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, sebabnya Dewa tidak sabar ingin tiba di rumah, ingin mengabarkan pada kedua orangtuanya bahwa ia telah lulus ujian dengan nilai yang cukup bagus. Bersamaan dengan senyum yang merekah, Dewa menuruni motornya ketika rumah sudah terlihat di pelupuk mata.

Sesaat Dewa geming karena mendengar samar-samar suara perdebatan dari dalam sana. Langkahnya gentar, degup jantungnya berkali-kali lipat menjadi lebih cepat ketika suara pecahan kaca terdengar nyaring menembus sampai gendang telinga.

“Saya yang bakal pergi!”

“Aku juga udah gak sudi hidup sama laki-laki kayak kamu!”

“Ok, fine! Kita urus semuanya di pengadilan.”

Detik itu tas ransel yang Dewa jinjing langsung jatuh ke tanah. Bahkan lututnya seakan tak lagi mampu menopang berat tubuh, Dewa semakin gemetar saat wajah merah padam sang Papa muncul dari balik pintu.

“Papa!” Dewa melambaikan tangannya tinggi-tinggi.

Papa tidak menjawab, hanya menghentikan langkah saat Dewa memanggilnya. Bocah yang masih mengenakan seragam putih abu itu mempercepat derap langkah kaki menuju laki-laki yang berdiri di ambang pintu mobil dengan nafas yang menggebu-gebu.

“Papa mau ke mana?”

“Papa yakin, tanpa harus Papa jelasin lagi kamu udah ngerti,”

Dewa diam-diam menggigit bibir dalamnya. “Pa, aku udah lu—”

“Papa buru-buru, kita ngobrol di lain kesempatan, ya? Jaga diri baik-baik.”

Dewa tidak membiarkan Papa berlalu begitu saja. Dengan sisa tenaga yang ada, Dewa menahan Papa yang hendak pergi jauh darinya. Jika orang-orang mampu melihat kondisi Dewa sekarang tentunya akan merasa iba, bagaimana sakitnya kala di hari kelulusan yang harusnya menjadi hari kebahagiaan bersama keluarga berubah menjadi hari yang paling menyedihkan. Sorot mata Dewa begitu nelangsa, seakan ia memohon Papa tetap tinggal bersamanya.

“Dewa, kamu bisa ngerti kondisi nggak?” nada bicara Papa semakin meninggi.

“Papa juga bisa ngertiin aku nggak? Aku baru lulus, Pa. Tadi temen-temen aku ditemenin sama orang tuanya, sedangkan aku? Sendiri!” begitupun Dewa yang tersulut emosi yang disebabkan dari rasa kecewa.

Air mata yang sejak tadi Dewa tahan mati-matian langsung tumpah begitu saja, bahkan mengalir deras sampai mengenai seragamnya yang sudah kusut. Jutaan kekecewaan dapat dirasakan tanpa harus dikatakan, hanya dari sebuah tatapan saja sudah dapat tergambarkan betapa Dewa sangat hancur sehancur-hancurnya.

“Kurang apa Papa sama kamu? Semua Papa kasih, bahkan motor itu Papa kasih buat kamu. Apa lagi? Apa lagi yang kurang?”

“Kasih sayang.” timpal Dewa singkat.

“Apa semua yang Papa kasih ke kamu itu bukan bentuk dari kasih sayang?”

Dengan tegas Dewa menjawab, “Bukan. Kalo boleh memilih, aku lebih suka kita yang dulu, aku lebih suka waktu Papa ngerakit robot dari kardus bareng-bareng sama aku ketimbang langsung ngebeliin semua barang mahal. Aku mau main PS bareng lagi, atau naik sepeda sama-sama, dibanding aku bergelimang sama barang-barang mewah yang Papa beli, tapi Papa nggak pernah ada buat aku. Lagi.”

“Udah, ya. Urusan Papa sama Mama kamu juga udah rumit, kamu jangan semakin nyiksa Papa, Dewa.”

“Tapi aku yang tersiksa, Pa...” sayang ungkapan itu hanya berada di dalam hati Dewa, tak pernah ia ungkapkan pada lelaki yang kini telah menduduki kursi kemudi dan perlahan menjalan mobilnya menjauh.

Tak ada lagi yang dapat Dewa lakukan selain memperhatikan mobil Alphard berwarna putih itu sampai menghilang dari pandangannya. Sekilas Dewa melirik ke arah pintu depan rumah yang terbuka, menyaksikan Mama yang duduk bersimpuh di lantai dengan air mata yang jatuh berderai. Saking tidak ingin melihat pedihnya Mama yang menangis tersedu-sedu, Dewa langsung berlari tanpa arah, yang jelas ia tak ingin berada di rumah.

Angin yang tadi berhembus kencang rupanya menjadi pertanda kalau malam ini akan turun hujan, tak ada yang mengisi langit selain awan-awan, rembulan dan bintang pun bersembunyi entah di mana. Dibawah rundungan langit yang hampir menumpahkan kandungan airnya, Dewa berlarian ke sana ke mari, mencari tempat di mana tak ada satu pun orang yang mampu mendengar isak tangisnya yang pilu.

Sampai akhirnya Dewa mendaratkan bokong di kursi taman yang sepi, mungkin tadi ramai para pemuda pemudi, hanya saja gelegar petir membuat mereka terpaksa kembali. Di sana Dewa menyandarkan punggung dengan pasrah, kepalanya mendongak pada langit, membiarkan rintik-rintik halus jatuh mengenai kulitnya.

“Capek.” Dewa bergumam rendah.

Hari ini mungkin tercatat sebagai hari yang paling menyakitkan bagi Dewa, lelaki itu bahkan hampir kehabisan air matanya, ia tak sanggup jika harus membayangkan kondisi rumah yang sunyi, dan selalu diiringi suara tangis Mama sepanjang hari, rasanya Dewa akan frustasi. Untuk sekali saja, Dewa ingin menangis lagi sampai tampungan air matanya habis, kering, dan tak tersisa lagi. Ia akan menangis hebat pada malam ini seolah tak ingin menangis lagi di kemudian hari.


“Dewa, kok malah nangis? Kalo lo belum siap cerita lebih jauh gak apa-apa kok,”

“Ya, pokoknya kejadian itu dua tahun yang lalu, setelah itu semua gue dituntut buat kuat karena gue juga gak mau Mama sedih tiap hari, walaupun rasanya gue yang lebih sedih,” ujar Dewa bersamaan dengan senyum sumir.

“Kalo mau nangis lagi juga gak pa-pa, gue gak bakal ketawain kayak tadi lagi, deh.”

“Gue boleh pinjem bahu lo nggak?”


© Jupiter Lee

CW // Harsh Word CW // Kissing Nanti setel lagu rekomendasinya di tengah-tengah cerita aja hshshs.


Seperti yang orang-orang tahu, Jasmine tidak akur dengan tetangga sebelahnya. Meskipun awal tetangga baru itu menetap di sebelah rumah Jasmine, ia selalu bersikap baik layaknya yang selalu Azzam ingatkan padanya. Akan tetapi sikap baik Jasmine tak dibalas dengan sikap baik pula. Pribahasa nya, air susu dibalas dengan air tuba.

Tetangga yang dikenal pasangan baru menikah itu rupanya tidak terlalu harmonis, bahkan suaminya nyaris selalu bersikap genit pada Jasmine, sementara istrinya jarang terlihat ada di rumah.

Hingga pada suatu sore, Jasmine sedang menggunting daun mati tanaman hias di pekarangan rumahnya, tetapi tiba-tiba Mas Hadi—tetangga baru Jasmine itu datang dan memperhatikan kegiatan yang sedang Jasmine lakukan.

“Hei, lagi apa?” lelaki itu menumpu tangannya di atas tembok pembatas antara rumah mereka.

“Gak liat emangnya, Mas?” jawab Jasmine ketus.

Sejujurnya ia sudah malas meladeni lelaki itu. Meskipun Mas Hadi memiliki paras yang cukup tampan, sikapnya membuat siapapun hilang respect padanya.

Jasmine belum selesai menggunting pepohonan nya tetapi ia sudah muak dengan Mas Hadi yang terus-terusan memperhatikannya dengan tatapan yang tidak biasa. Hingga saat Jasmine beranjak tergesa-gesa, ia tak sengaja menginjak rok panjangnya hingga terjatuh. Mas Hadi yang melihat kejadian itu sontak ingin menjadi pahlawan kesiangan. Oh, karena sudah sore menjadi pahlawan kesorean.

Padahal Jasmine tidak meminta, namun ia dengan tidak sopannya masuk ke halaman rumah Jasmine dan berniat untuk membantu gadis itu berdiri. Meski niatnya baik, tetap saja caranya salah, 'kan? Bukan berarti seenaknya menyentuh wanita yang bukan miliknya. Toh, Jasmine hanya terjatuh biasa dan masih bisa bangun sendiri.

“Tolong jangan pegang saya! Saya bisa bangun sendiri!” titah Jasmine dengan nada tinggi. Ia takut, ia membutuhkan Azzam di sisinya.

Disaat yang bersamaan, sebuah suara wanita meneriakinya dengan keras. Meneriaki dengan sama tidak sopannya.

“Heh, murahan!”

Jasmine yang masih terduduk itu mendadak lemas karena mendapat sebutan seperti itu dari orang yang sama sekali tidak dekat dengannya.

Gadis berambut panjang, dengan setelan serba coklat-hitam dan riasan yang menor berjalan mendekati Jasmine dan memaksanya untuk berdiri. Dia juga tak segan mendorong tubuh Jasmine hingga terhuyung ke belakang.

“Kamu itu emang nggak punya harga diri, hah?! Udah punya suami kok masih suka gangguin suami orang?! Emangnya suami kamu itu gak cukup?!”

Jasmine marah, Jasmine sakit hati, ditambah Jasmine malu karena beberapa warga sekitar melirik tanpa mau membantunya. Mungkin tabiat warga komplek sini seperti itu, seperti tidak peduli sosial.

“Jawab!”

“Suami kamu yang godain saya!”

Dengan wajah tanpa dosa, Mas Hadi menggeleng kukuh seraya menyudutkan Jasmine seakan dia lah yang digoda, bukan yang menggoda. Kurang ajar.

Gadis yang tidak Jasmine ketahui namanya itu tiba-tiba menarik jilbab yang membalut kepalanya, untung saja tidak terlepas karena Allah masih melindungi aurat Jasmine. Ia benar-benar berada dipuncak emosinya. Jika Jasmine mau, ia bisa saja menjambak atau bahkan memukul gadis itu hingga masuk UGD, tetapi Jasmine memilih menggunakan kepala dingin. Ia tak mau mengecewakan Azzam lagi.

“Mana suami kamu?! Panggil!”

Jasmine sesegera mungkin meraih ponsel di kantong rok nya dan mencari kontak Azzam dengan jari yang bergetar.

“Dasar jelek gak tau diri. Udah punya anak dua, nggak becus juga ngurusnya, malah godain laki-laki lain!”

Semakin hati Jasmine seperti dicabik-cabik. Sudah disebut murahan, kini disebut tak becus mengurus anak. Padahal orang yang menyebutnya tak becus itu belum memiliki pengalaman dalam mengurus anak.

Selain menahan emosi, Jasmine juga menahan tangisannya, mati-matian.


Mendapat pesan singkat sekaligus satu buah pesan suara singkat dari Jasmine, Azzam langsung meminta izin untuk pulang. Ia merasa ada yang tidak beres di rumah.

Setiba di sana, ia membiarkan mobilnya terparkir di depan gerbang karena melihat ada dua orang yang terlihat sedang memarahi Jasmine. Langkahnya cepatnya berubah menjadi lari.

Azzam langsung mendekap erat Jasmine dengan melayangkan tatapan nyalang pada kedua orang di depannya.

“Maksudnya apa?” tanya Azzam dingin. Raut wajahnya berubah menjadi sedikit lebih menyeramkan.

“Tolong ya, Mas, itu istrinya dijagain biar nggak gatel sama suami saya!”

“Kamu itu jarang di rumah. Kamu tau apa aja yang dilakuin suami kamu selama dia sendiri? Dia yang gangguin istri saya.”

“Saya liat pake mata kepala saya sendiri!”

“Mata kamu sehat. Tolong liat siapa yang nyamperin? Suami kamu, atau istri saya?”

“Ya emang suami saya yang nyamperin, tapi pasti dipancing sama dia! Emang kalo udah dasarnya murahan ya murahan! Percuma pake jilbab juga.”

Jasmine memeluk erat Azzam kala merasakan nafas pria itu memburu. Raut wajah Azzam benar-benar murka, hatinya tersayat saat mendengar perempuannya direndahkan di depan matanya.

“Kamu siapa? Kamu tau apa tentang perempuan saya? Harusnya kamu tanya sama suami kamu.”

Lagi-lagi Mas Hadi tak ingin disalahkan dan berusaha mencari alasan.

“Bahkan sebelum kamu bicara, wajah kamu itu udah menggambarkan kalau kamu itu pembohong, Hadi. Jangan memutarbalikkan fakta yang ada!”

Mas Hadi tersentak dengan ucapan Azzam, ia bergidik ngeri saat tatapannya menangkap sorot mata Azzam yang marah dan menuntut dirinya untuk jujur. Dan itu berakhir dengan dirinya menyuruh sang istri pulang. Mereka pulang tanpa meminta maaf, tanpa mereka tahu mereka telah melukai hati Jasmine begitu dalam.


Ayo setel lagu rekomendasinyaaa! HSHSHSH awas mencairrrr!


“Kak... sakit...”

Azzam membawa Jasmine masuk ke dalam karena ia tak ingin banyak orang memperhatikannya. Sekilas Azzam melongok ke dalam kamar anaknya, ia melepas nafas lega karena kedua bocah itu tertidur dengan nyaman.

“Mau saya ambilin air minum?”

Jasmine hanya menggeleng dengan sudut-sudut mata yang sudah tidak sanggup menahan air mata.

Dalam posisi yang masih berdiri itu Azzam mendekapnya lagi. “Nangis aja.”

Lantas tumpah ruah air mata Jasmine hanya karena direngkuh dengan pria itu. Sedangkan Azzam hanya diam membiarkan Jasmine untuk menumpahkan emosi tertahannya.

“Tadi emangnya kenapa, hm?”

Jasmine mengambil nafas sebelum menjelaskan, tetapi hidungnya sulit dimasuki udara.

“Tadi aku kayak biasa, digodain dia, Kak. Terus aku mau cuekin, aku masuk ke dalem, tapi aku nggak sengaja jatoh. Dia tiba-tiba masuk ke halaman mau angkat badan aku. Eh, pas banget istrinya dateng langsung marah-marah kayak gitu. Aku nggak salah, 'kan, Kak? Aku nolak buat dibantu berdiri kok.”

“Nggak. Kamu nggak salah. Emang mereka yang kurang ajar.”

“Tapi aku dimaki-maki. Aku dibilang murahan, jelek, nggak bisa urus anak. Sakit banget, Kak.”

Jasmine kembali menenggelamkan wajahnya di dada Azzam. Karena hanya pelukan dari pria nya, hati Jasmine tenang seketika. Ibaratnya, Azzam adalah rumah ternyaman yang pernah Jasmine singgahi.

“Kamu jangan pernah dengerin perempuan tadi ya. Cukup dengerin saya. Denger ini, Jasmine.”

“Iya...”

“Petama, kamu sama sekali nggak murahan. Kamu selalu ngejaga diri dari banyaknya laki-laki yang sering ganggu kamu.”

“Kedua, kamu nggak jelek, siapa yang bilang kamu jelek sini debat sama saya. Orang cantik banget kayak gini, mereka yang bilang kamu jelek harus cek ke dokter mata, pasti ada yang bermasalah.”

“Ketiga, kamu bener-bener berusaha jadi Bunda yang sempurna buat Abi sama Shereen. Kalau saya jadi mereka, pasti saya bakal jadi anak paling bahagia karena punya Bunda sehebat kamu.”

“Ini Jasmine. Perempuan saya yang paling hebat. Seluruh dunia harus tau betapa bangganya saya sama kamu, betapa sayangnya saya sama kamu, dan betapa saya nggak mau liat kamu dilukai. Lancang mereka kalo berani ngelukain perempuan yang saya jaga sepenuh hati.”

image

“Kak...”

“Iya? Udah nangisnya?”

“Aku sayang banget sama Kakak. Aku nggak bisa ngomong apa-apa lagi karena Kakak sesulit itu buat dideskripsikan.”

Azzam melonggarkan pelukannya untuk menatap wajah Jasmine yang memerah dan lembab penuh jejak air mata. Ibu jari Azzam bergerak untuk mengusap pipi kemerahan itu hingga akhirnya Azzam mempertemukan bibir mereka.

Jasmine memilih untuk memejamkan mata dan merasakan lembutnya setiap perlakuan Azzam padanya.

Ia mengalungkan tangannya di leher Azzam dengan pautan yang belum terlepas. Ia turut merasakan hangat dan manisnya bibir Azzam yang menyapu bibir ranum nya.

Dirasa membutuhkan pasokan udara, Azzam melayangkan kecupan singkat di setiap sudut wajah Jasmine.

Kemudian mereka menoleh bersamaan kala mendengar suara pintu kamar yang terbuka, memperlihatkan si kembar dengan wajah khas baru bangun tidur.

“Bunda??? Nangis???” Abizar bertanya dengan mimik wajah penuh kekhawatiran.

Tanpa basa-basi Azzam menggendong kedua anaknya itu, membawa mereka untuk menatap mata sang Bunda. Kini, di depan Jasmine terdapat tiga pasang mata yang menatapnya dengan penuh cinta.

“Bunda cantik nggak?”

Mendengar pertanyaan dari Azzam, mereka berdua mengangguk bersemangat dan mengundang senyum di wajah Jasmine.

“Coba cium bunda nya.”

Abizar dan Shereen mencium kedua belah pipi Jasmine bersamaan. Begitu pula dengan Azzam yang mencium hangat pucuk kepalanya.

“Jangan khawatir, kita bertiga sayang sama kamu dan bakal terus ada buat kamu.”

Rasanya Jasmine ingin menangis lagi, namun kali ini adalah tangisan haru. “Makasih...”

“Ayah, Bunda nangis lagi.”

“Kalo gitu ayo kita cium lagi!!”


© Jupiter Lee