Hold My Hand in the Street

image


Sabtu pagi selalu menjadi hari yang paling dinanti. Selepas sibuk dari Senin ke Jumat, Sabtu dan Minggu adalah waktu terbaik untuk melepas penat. Biasanya Azzam dan Jasmine akan menghabiskan hari libur mereka di rumah, membuat piknik kecil atau menonton film bersama. Tapi Sabtu kali ini mereka berniat untuk menikmati libur di luar mengingat si kembar tak pernah dibawa pergi jauh.

“Jadi mau beli tanaman, 'kan?” Azzam bertanya sekaligus meraih selembar tisu yang tersedia di atas meja.

“Harus jadi,” jawab Jasmine bersemangat.

“Udah selesai makannya? Atau mau pesen lagi?”

Jasmine spontan menggeleng. “Nggak, ah.”

Azzam tersenyum tipis sembari mengusap pelan sudut bibir Jasmine yang menyisakan cokelat. Lantas Azzam berdiri dari duduknya menuju kasir. Jasmine diam-diam memperhatikan punggung tegap Azzam dari belakang, ia juga melihat beberapa pengunjung restoran ini memusatkan pandangan pada lelakinya. Terkadang Jasmine cemburu, Azzam yang terlihat seperti masih mahasiswa semester pertama itu selalu membuat banyak gadis-gadis dengan mudah melirik dan tertarik.

“Jasmine?”

“Eh? Iya?” Jasmine tersadar dari lamunan singkatnya.

“Ayo, nanti makin sore,” ajak Azzam dengan mengulurkan tangan kekarnya pada Jasmine.

Tapi karena Jasmine malu, ia meminta Azzam agar berjalan lebih dulu tanpa harus menggenggam tangannya. Omong-omong, mereka pergi bersama Abizar dan juga Shereen. Jasmine menggendong Shereen, sedangkan Azzam menggendong Abizar. Kembar itu semakin bertambah usia semakin bertambah pula berat badannya, kalau Jasmine yang menggendong dua-duanya sendiri pasti esoknya ia akan memanggil tukang pijat pribadi.

“Di mana yang jual tanaman hias?” Azzam mengedarkan pandangan ke tiap-tiap sudut kota.

“Deket pertigaan sana.”

“Yah, macet. Mau jalan kaki aja? Mobilnya biarin parkir di sini, jauh nggak tempatnya?”

“Nggak, kok.”

“Mau jalan?”

Pada akhirnya mereka berjalan beriringan di tengah pusat kota yang ramai luar biasa. Desas-desus jalan raya, suara klakson yang mengudara, riuh suara para penjual kaki lima serta gema melodi yang entah datang dari mana bersatu padu menciptakan dengungan yang memekakkan telinga. Azzam tak membiarkan Jasmine berjalan di pinggir trotoar karena khawatir ada tangan-tangan jahil yang bisa saja melukai perempuannya.

“Jasmine capek nggak?”

“Kalo aku bilang capek emang kamu mau gendong?” Jasmine membalas dengan mimik wajah meledek.

Hold my hand in the street,” ucap Azzam bersama dengan uluran tangannya yang kedua kali. “Soalnya kalo hilang nggak ada gantinya.”

“Kalo hilang, cari Jasmine yang lain, kan ada banyaaak.”

“Ya. Mungkin ada jutaan Jasmine di luar sana, tapi saya maunya Jasmine yang ini. Cuma ini. Hanya ini.”

Sontak Jasmine memalingkan wajah karena takut kelihatan salah tingkah, tangan Azzam pun ia biarkan menggantung di udara tanpa mau menggenggamnya. Bukan apa-apa, Jasmine malu karena sepanjang trotoar ini pandangan orang-orang tertuju padanya. Namun Azzam tak pernah pedulikan itu, bahkan jika ada sejuta pasang mata yang menghujamkan lirikan padanya dan Jasmine, ia tak akan merasa malu untuk menggenggam Jasmine atau bahkan jika perlu Azzam akan berteriak sekeras mungkin untuk mengakui perempuan yang ia genggam ini miliknya.

“Kenapa?”

Jasmine menjawab, “Nanti orang-orang bilang, ih udah punya anak dua masih gandengan tangan, gitu.”

Sejenak tertawa, Azzam langsung meraih jemari Jasmine dan mengayunkannya tanpa ada rasa ragu dan malu. Tak peduli bagaimana orang lain menilai, Azzam hanya ingin Jasmine tahu bahwa ia begitu menyayanginya dan tak pernah bosan untuk terus menunjukkan itu.

“Kak Azzam?”

“Apalagi? Masih malu?”

“Itu..., tokonya kelewatan,” bisik Jasmine pelan.

Keduanya tertawa bersamaan, memburamkan lingkungan sekitar seakan dunia hanya berfokus pada keduanya.


© Jupiter Lee