Rain in a Dream


Klik listen in browser, yaa!

Coboy Junior 3 · AFGAN – BAWALAH CINTAKU


Malam tak sedamai sebelum-sebelumnya, kali ini kegelapan ditemani dengan gemuruh yang bergema di langit, menyambarkan kilat cahaya yang menakutkan, riuh angin yang saling menabrak dedaunan juga menimbulkan rasa gelisah di hati. Kemudian, rinai hujan yang tak terhitung jumlahnya perlahan turun ke tanah bumi dan menciptakan hawa dingin yang menggerogot nadi.

Di sana Jasmine sedang menangis sejadi-jadinya, di tengah jalan yang hanya diramaikan dengan titik demi titik hujan. Jasmine merasa kelelahan karena sudah berlari ratusan meter hanya untuk mengejar Azzam yang hendak pergi.

“KAK AZZAM!” Jasmine berteriak sekencang mungkin dengan sisa tenaga yang ia punya.

Seolah tuli, Azzam berjalan tanpa menoleh barang sedetik. Laki-laki itu tampak bersahabat dengan hujan, terlihat dia berjalan dengan tempo langkah yang lambat. Meskipun lambat, entah mengapa Jasmine tak mampu untuk mengejar.

“KAK AZZAM!” Lagi-lagi Azzam masih enggan menoleh.

Jasmine berdiri dan berlari sekencang mungkin, menerobos hujan lebat yang membuat sekujur tubuhnya basah kuyup. Jasmine tak peduli sama sekali, yang ia pikirkan hanyalah bagaimana cara untuk mencegah Azzam yang semakin lama semakin bergerak menjauhinya.

Dengan derap langkah yang berlari tanpa henti, Jasmine berhasil berdiri tepat di belakang Azzam. Nafasnya yang terengah-engah membuat Azzam menoleh padanya dengan senyum hangat yang sudah lama tak ia lihat. Kemudian Jasmine ikut menarik sisi kanan dan kiri bibirnya membentuk lekukkan senyum manis sebagai balasan untuk senyum pria tampan di hadapannya.

“Kak, jangan pergi...,” pinta Jasmine dengan nada yang sangat memohon.

Bahkan, saat senyum Jasmine memudar, Azzam masih tetap mempertahankan senyumnya tanpa berbicara apa-apa. Jasmine berlutut sambil menangis, meminta Azzam tak lagi berniat pergi. Tapi, kala itu Azzam langsung memintanya untuk bangkit dan berdiri dengan tegak. Diusapnya pipi merah Jasmine yang basah dan dingin kemudian mengecupnya sekilas sebelum pada akhirnya Azzam berbalik badan dan berjalan lagi.

Jasmine menatapnya dengan sorot mata yang teriris-iris, ia tak dapat lagi mengejar Azzam karena kaki nya mendadak kaku untuk bergerak. Ia lihat Azzam tak basah sama sekali meskipun berjalan di tengah hujan lebat seperti ini, Jasmine hanya bisa menangis dan menangis. Haruskah Azzam meninggalkannya di tengah gelapnya malam yang diguyur hujan ini sendirian?

Semakin tangis Jasmine menjadi-jadi kala tubuh bongsor Azzam perlahan lenyap dilahap dengan kegelapan yang berada di ujung jalan sana.

“KAK AZZAM!!!” Jasmine benar-benar hampir membuat pita suaranya putus karena terlalu kencang berteriak.

Detik itu, matanya yang terpejam mendadak terbuka. Jasmine menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih, pandangannya beredar pada tiap-tiap sudut ruangan yang masih sama dan tidak ada yang berubah sama sekali. Objek terakhir yang Jasmine lihat adalah sosok Azzam yang tengah berbaring di sebelahnya. Azzam sedang tertidur pulas dengan kaos putih yang semalam ia kenakan.

Lantas, Jasmine langsung memeluk Azzam tanpa ragu, memeluknya erat dengan air mata yang jatuh berderai. Terdengar jelas suara degup jantung Azzam yang membuatnya bernafas lega setelah sebongkah batu seolah-olah menekan dadanya sampai sesak.

“Hei, kenapa?”

Suara serak nan parau Azzam langsung membuat Jasmine mendongak untuk melihat wajahnya. Lelaki itu menatap Jasmine heran, pasalnya tiba-tiba Jasmine menangis sesenggukan di pukul satu pagi seperti ini.

“Kenapa, sayang?”

Bukannya menjawab, Jasmine justru menangis lagi, semakin menukik alis Azzam dibuatnya. Lalu, Azzam mengangkat paksa kepala Jasmine hanya untuk melihat lebih jelas wajahnya.

“Kenapa? Kok nangis gini, hm?” Tanya Azzam sembari menangkup wajah Jasmine dengan telapak tangannya yang besar.

“Aku barusan mimpi kamu pergi, aku udah kejar tapi kamu semakin ngejauh. Padahal di sana gelap, kenapa kamu malah ke sana, Kak?”

Azzam tak mengerti sama sekali, yang ia tahu ini hanyalah mimpi Jasmine yang membuat perempuan itu sesenggukan begini. Maka Azzam langsung membawa Jasmine ke dada nya seraya merengkuh dengan erat. Usapan demi usapan Azzam berikan di punggung Jasmine, berharap ia tenang dan kembali untuk tidur.

“Jangan..., jangan pergi....”

“Siapa? Siapa yang mau pergi? Nggak ada, Jasmine. Saya dari tadi di sebelah kamu, nggak kemana-mana,” jelas Azzam namun tak dapat dimengerti oleh Jasmine.

“Kak, aku gak mau tidur, nanti Kakak pergi lagi. Aku capek ngejarnya, di sana gelap, sepi, dingin, aku nggak mau lagi....”

Azzam terkekeh ringan sebelum ia memilih untuk memeluk Jasmine lebih erat, mengecup pucuk kepalanya berulang kali dan mengusap punggungnya tanpa henti. Padahal akhirnya, Azzam juga ikut menangis, ia tak sadar titik air jatuh dari sudut pelupuk mata. Melihat Jasmine menangis hanya karena mimpi dirinya pergi, Azzam selalu takut kenyataan benar-benar memintanya demikian, ia tak sanggup membayangkan jika Jasmine harus menangis sepanjang hari hanya karena kepergiannya.

Siapa yang nanti memeluk perempuan saya?

Siapa yang nanti menghapus air matanya?

Siapa yang nanti menemani kesepiannya?

Siapa yang nanti menjadi alasan senyumnya?

Kalau begini, Azzam bisa ikut menangis sesenggukan. Dengan cepat Azzam hapus air mata yang sedari tadi turun membasahi kulit wajahnya, kemudian memeluk Jasmine lagi.

“Jasmine, setiap yang datang pasti akan pergi, mau nggak mau, siap nggak siap, kita harus selalu siap dengan itu semua. Kita nggak pernah tahu umur ini sampai kapan, entah siapa di antara kita yang nanti akan pergi lebih dulu, entah kita akan pergi bersama, maut nggak ada yang tahu.”

“Kak, jangan gitu....”

“Udah nangisnya, ya? Sekarang, 'kan, saya nggak pergi, masih di sini, di sebelah kamu. Semoga akan terus begini sampai tangan halus yang sekarang saya genggam keriput, sampai rambut yang hitam ini memutih, dan sampai mata yang lentik ini layu. Menua bersama kamu termasuk do'a saya, karena pada saat itu saya mau jadi satu-satunya orang yang menyebut kamu cantik. Selamanya cantik, dan selamanya selalu menjadi Humairah-nya Azzam.”


© Jupiter Lee