Familiar


Haidar mencari letak kunci motornya dengan gerakan yang terburu-buru. Beberapa detik setelah Fatimah mengabarkan bahwa ia mengalami kecelakaan, Haidar langsung berjingkat ke sana dan ke mari. Sialnya kunci motor yang memiliki gantungan sebuah peluit itu mendadak hilang. Sebenarnya bukan hilang, hanya saja Haidar terlalu panik sampai tak bisa berpikir dengan tenang.

Kunci motor itu rupanya terselip di sofa, kalau saja ia tidak mengangkat bantal pasti tidak akan berjumpa. Lantas Haidar bergegas menuju tempat yang Fatimah sebutkan tadi dengan motornya yang melaju dengan sangat cepat, menerobos angin yang membuat rambut hitam kecoklatannya tersibak ke belakang.

Begitu sampai di tempat tujuan, Haidar tercekat melihat dahi Fatimah bercucuran darah, di sekelilingnya banyak sekali tisu yang juga bersimbah darah. Dengan langkah besarnya Haidar menggeser orang-orang yang pada saat itu mengelilingi Fatimah dan bersimpuh di hadapannya.

“Fatimah, kok bisa kayak gini?” nada bicara Haidar sangat gemetar. Tangannya bergerak untuk memastikan kondisi tubuh Fatimah yang lain.

“Tadi aku mau nyebrang, jalanannya udah sepi, tapi tiba-tiba ada motor dari tikungan situ, ngebut banget sampe aku nggak sempet ngehindar.”

“Sekarang ke mana yang nabraknya?”

Kemudian ada seorang pria yang kira-kira usianya 30 tahun ke atas, dia mengangkat tangan dan mengakui kesalahannya. Si pengendara itu mengaku tidak sengaja dan terkejut karena ada seorang gadis yang sedang menyebrang, ia juga mengatakan fokusnya sedang buyar sehingga tak sempat menarik tuas rem dan berujung kecelakaan. Malang tak dapat ditampik, Fatimah tertabrak dari belakang, menyeba kan luka paling parah ada di bagian dahi-nya.

“Maaf, Mas, saya betulan nggak sengaja, saya sendiri kaget jadi gak sempet nge-rem. Tapi saya bakal bertanggung jawab buat biaya klinik, kok.” Ujar pengendara tersebut.

Pria itu meraih tangan Haidar dan menyelipkan beberapa lembar uang dengan nominal tertinggi. “Diterima, ya, Mas. Kalau bisa langsung dibawa sekarang aja, soalnya itu udah parah juga.” Dengan begitu, Haidar langsung membawa Fatimah ke klinik terdekat menggunakan motornya.

“Kamu kuat, 'kan? Naik motor sama abang, ya?”

Fatimah hanya mengangguk lemas. “Iya, kuat.”

Kejadian sore ini cukup membuat Haidar dilanda rasa bersalah yang bertubi-tubi karena tidak seharusnya ia bersikap acuh begini. Dalam perjalan, Haidar hanya mampu merutuki kebodohan yang ia perbuat, sayup-sayup suara rintihan Fatimah di belakang membuatnya semakin tak sanggup menahan air yang sudah menggenang di pelupuk matanya.

“Pegangan.” Titah Haidar.

“Abang, aku minta maaf, ya?”

“Kok?”

“Aku jadi nyusahin abang.”

Haidar meraup udara sebanyak mungkin sebelum akhirnya menurunkan Fatimah di depan klinik. Haidar tak menanggapi kalimat terakhir yang Fatimah lontarkan. Ia langsung membawa masuk gadis itu ke dalam agar segera diberikan perawatan. Sementara Haidar sedang menghadap resepsionis di depan sana.

“Aku nggak mau dijahit...” rengek Fatimah, padahal lukanya cukup berpotensi untuk dijahit.

“Ikutin kata dokternya,”

“Nggak mau...”

“Abang temenin,”

Beberapa menit setelah perdebatan dengan Haidar, terpaksa Fatimah memberanikan diri untuk melihat jarum suntik bius yang sebentar lagi akan mendarat di permukaan dahi-nya, tajam menusuk kulit sampai akhirnya mati rasa untuk beberapa saat. Ia hanya merasa dahi-nya disentuh-sentuh, tanpa tahu sudah terjahit hingga tiga jahitan.

Sambil menunggu Fatimah, Haidar baru menyadari kalau ia belum mengabari apa pun pada Ummi karena kondisinya tadi sedang panik luar biasa. Tapi ia takut Ummi akan berlari sampai klinik tanpa kendaraan, karena Haidar tahu wanita tua itu sangat menyayangi Fatimah. Maka Haidar putuskan untuk memberitahu saat sudah tiba rumah.

“Maafin abang, ya? Maaf abang belum bisa jadi Bang Azzam buat kamu, maaf karena abang nggak sesempurna Bang Azzam yang selalu nunjukkin rasa sayangnya dan selalu peduli sama kamu. Tapi kalo boleh abang mohon, Fatimah harus percaya kalo abang juga sayang sama Fatimah.”


Langit semakin menggelap, bulir-bulir kepekatan mulai nampak di atas sana, kicau burung mencuit panjang di tengah keheningan. Haidar berjalan terhuyung-huyung ke arah Masjid dengan kain sarung yang tersampir di bahunya. Pikirannya terbelah-belah menjadi beberapa bagian, dan masing-masing bagian itu memikirkan hal yang berbeda. Pertama, Haidar merasa gagal dalam melindungi adik perempuannya. Kedua, Haidar memikirkan omelan dari Ummi dan Abi dan yang membuatnya semakin merasa bersalah. Yang terakhir, ini adalah bagian pikiran yang paling besar yang merampas habis ruang di dalam kepalanya, sejak tadi ia tahan karena harus mengutamakan kondisi Fatimah.

Haidar memikirkan sosok perempuan yang tadi memangku Fatimah di atas paha-nya. Perempuan bertudung biru tua dengan masker yang menutupi setengah wajahnya. Haidar mulanya tak berpikir apa pun, namun begitu mendengar suaranya, ia seperti mengenali dan tak asing sama sekali. Tapi kalau dilihat dari segi wajah, Haidar ragu untuk menebak karena wajahnya cukup asing, ditambah perempuan itu menggunakan kacamata dengan lensa yang sedikit gelap.

Apakah hanya dengan suara yang tidak asing ini bisa Haidar simpulkan bahwa perempuan itu adalah... Hanin?


© Jupiter Lee