Menoreh Luka

image


Floko · Yiruma – Kiss The Rain (Piano Cover)


17 Juli 2017

Angin pada malam itu berhembus kencang hingga rambut hitam kecoklatan Dewa tersibak ke belakang. Ia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, sebabnya Dewa tidak sabar ingin tiba di rumah, ingin mengabarkan pada kedua orangtuanya bahwa ia telah lulus ujian dengan nilai yang cukup bagus. Bersamaan dengan senyum yang merekah, Dewa menuruni motornya ketika rumah sudah terlihat di pelupuk mata.

Sesaat Dewa geming karena mendengar samar-samar suara perdebatan dari dalam sana. Langkahnya gentar, degup jantungnya berkali-kali lipat menjadi lebih cepat ketika suara pecahan kaca terdengar nyaring menembus sampai gendang telinga.

“Saya yang bakal pergi!”

“Aku juga udah gak sudi hidup sama laki-laki kayak kamu!”

“Ok, fine! Kita urus semuanya di pengadilan.”

Detik itu tas ransel yang Dewa jinjing langsung jatuh ke tanah. Bahkan lututnya seakan tak lagi mampu menopang berat tubuh, Dewa semakin gemetar saat wajah merah padam sang Papa muncul dari balik pintu.

“Papa!” Dewa melambaikan tangannya tinggi-tinggi.

Papa tidak menjawab, hanya menghentikan langkah saat Dewa memanggilnya. Bocah yang masih mengenakan seragam putih abu itu mempercepat derap langkah kaki menuju laki-laki yang berdiri di ambang pintu mobil dengan nafas yang menggebu-gebu.

“Papa mau ke mana?”

“Papa yakin, tanpa harus Papa jelasin lagi kamu udah ngerti,”

Dewa diam-diam menggigit bibir dalamnya. “Pa, aku udah lu—”

“Papa buru-buru, kita ngobrol di lain kesempatan, ya? Jaga diri baik-baik.”

Dewa tidak membiarkan Papa berlalu begitu saja. Dengan sisa tenaga yang ada, Dewa menahan Papa yang hendak pergi jauh darinya. Jika orang-orang mampu melihat kondisi Dewa sekarang tentunya akan merasa iba, bagaimana sakitnya kala di hari kelulusan yang harusnya menjadi hari kebahagiaan bersama keluarga berubah menjadi hari yang paling menyedihkan. Sorot mata Dewa begitu nelangsa, seakan ia memohon Papa tetap tinggal bersamanya.

“Dewa, kamu bisa ngerti kondisi nggak?” nada bicara Papa semakin meninggi.

“Papa juga bisa ngertiin aku nggak? Aku baru lulus, Pa. Tadi temen-temen aku ditemenin sama orang tuanya, sedangkan aku? Sendiri!” begitupun Dewa yang tersulut emosi yang disebabkan dari rasa kecewa.

Air mata yang sejak tadi Dewa tahan mati-matian langsung tumpah begitu saja, bahkan mengalir deras sampai mengenai seragamnya yang sudah kusut. Jutaan kekecewaan dapat dirasakan tanpa harus dikatakan, hanya dari sebuah tatapan saja sudah dapat tergambarkan betapa Dewa sangat hancur sehancur-hancurnya.

“Kurang apa Papa sama kamu? Semua Papa kasih, bahkan motor itu Papa kasih buat kamu. Apa lagi? Apa lagi yang kurang?”

“Kasih sayang.” timpal Dewa singkat.

“Apa semua yang Papa kasih ke kamu itu bukan bentuk dari kasih sayang?”

Dengan tegas Dewa menjawab, “Bukan. Kalo boleh memilih, aku lebih suka kita yang dulu, aku lebih suka waktu Papa ngerakit robot dari kardus bareng-bareng sama aku ketimbang langsung ngebeliin semua barang mahal. Aku mau main PS bareng lagi, atau naik sepeda sama-sama, dibanding aku bergelimang sama barang-barang mewah yang Papa beli, tapi Papa nggak pernah ada buat aku. Lagi.”

“Udah, ya. Urusan Papa sama Mama kamu juga udah rumit, kamu jangan semakin nyiksa Papa, Dewa.”

“Tapi aku yang tersiksa, Pa...” sayang ungkapan itu hanya berada di dalam hati Dewa, tak pernah ia ungkapkan pada lelaki yang kini telah menduduki kursi kemudi dan perlahan menjalan mobilnya menjauh.

Tak ada lagi yang dapat Dewa lakukan selain memperhatikan mobil Alphard berwarna putih itu sampai menghilang dari pandangannya. Sekilas Dewa melirik ke arah pintu depan rumah yang terbuka, menyaksikan Mama yang duduk bersimpuh di lantai dengan air mata yang jatuh berderai. Saking tidak ingin melihat pedihnya Mama yang menangis tersedu-sedu, Dewa langsung berlari tanpa arah, yang jelas ia tak ingin berada di rumah.

Angin yang tadi berhembus kencang rupanya menjadi pertanda kalau malam ini akan turun hujan, tak ada yang mengisi langit selain awan-awan, rembulan dan bintang pun bersembunyi entah di mana. Dibawah rundungan langit yang hampir menumpahkan kandungan airnya, Dewa berlarian ke sana ke mari, mencari tempat di mana tak ada satu pun orang yang mampu mendengar isak tangisnya yang pilu.

Sampai akhirnya Dewa mendaratkan bokong di kursi taman yang sepi, mungkin tadi ramai para pemuda pemudi, hanya saja gelegar petir membuat mereka terpaksa kembali. Di sana Dewa menyandarkan punggung dengan pasrah, kepalanya mendongak pada langit, membiarkan rintik-rintik halus jatuh mengenai kulitnya.

“Capek.” Dewa bergumam rendah.

Hari ini mungkin tercatat sebagai hari yang paling menyakitkan bagi Dewa, lelaki itu bahkan hampir kehabisan air matanya, ia tak sanggup jika harus membayangkan kondisi rumah yang sunyi, dan selalu diiringi suara tangis Mama sepanjang hari, rasanya Dewa akan frustasi. Untuk sekali saja, Dewa ingin menangis lagi sampai tampungan air matanya habis, kering, dan tak tersisa lagi. Ia akan menangis hebat pada malam ini seolah tak ingin menangis lagi di kemudian hari.


“Dewa, kok malah nangis? Kalo lo belum siap cerita lebih jauh gak apa-apa kok,”

“Ya, pokoknya kejadian itu dua tahun yang lalu, setelah itu semua gue dituntut buat kuat karena gue juga gak mau Mama sedih tiap hari, walaupun rasanya gue yang lebih sedih,” ujar Dewa bersamaan dengan senyum sumir.

“Kalo mau nangis lagi juga gak pa-pa, gue gak bakal ketawain kayak tadi lagi, deh.”

“Gue boleh pinjem bahu lo nggak?”


© Jupiter Lee